Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

slide to unlock

Messages from admin
#Syukron Jazakallah Telah Berkunjung . O(≧▽≦)O
#Afwan yah, apabila ada kesalahan ~ (ノ ̄д ̄)ノ)
#Mari sama2 kita sokong seluruh Akhwat indonesia untuk jadi muslimah yang HAQ. (✖╭╮✖)
#Semoga Blog ini masih tetap bermanfaat,walaupun kurang menarik. (´・ω・`)
#Maju terus Akhwat Indonesia! ヽ(^▽^)人(^▽^)人(^▽^)ノ

Newest Post

Siapakah Ulil Amri Yang Wajib Ditaati ?

| Senin, 18 Maret 2013
Baca selengkapnya »
## Kabar Dunia Islam ##

Oleh : Ustad Abu Sulaiman Aman Abdurrahman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”.

(QS. An Nisaa’ [4]: 59)

Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Aalamiin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi dan Rasul yang paling agung Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para shahabatnya seluruhnya.

Ikhwani fillah… kali ini kita akan meluruskan pemahaman yang ada di masyarakat berkenaan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (QS. An Nisaa’ [4]: 59)

Ayat ini adalah ayat yang sering kita dengar dan digunakan oleh banyak orang dalam rangka mewajibkan masyarakat untuk taat kepada pemerintah Republik Indonesia ini. Oleh karena itu perlu kiranya kita meninjau kembali atau meluruskan posisi ayat ini secara proporsional dalam kehidupan nyata di negeri ini. Mari kita pahami siapa orang-orang yang beriman dalam ayat tersebut dan kaitannya dengan realita Pemerintahan Republik Indonesia ini…

Tinjauan ayat :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (QS. An Nisaa’ [4]: 59)

“Hai orang-orang yang beriman”, ini adalah khithab (seruan) terhadap orang-orang yang beriman. “taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”, maksud ulil amri di sini adalah ulil amri dari kalangan kalian, yaitu pemimpin muslim atau pemimpin yang mu’min, itu adalah pengertian sederhananya.

Jadi, pemimpin yang harus ditaati ─tentunya selain dalam maksiat─ adalah pemimpin muslim, karena Allah mengatakan “min kum” (dari kalangan kalian) setelah mengkhithabi “hai orang-orang yang beriman”.

Orang yang beriman atau orang muslim yang berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma adalah orang yang beriman kepada Allah dan kafir kepada thaghut, berikut ini adalah penjabarannya.

A. Dalil Dari Al Qur’an

1. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا

“Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia telah berpegang teguh pada al ‘urwah al wutsqa”. (QS. Al Baqarah [2]: 256)

Al ‘urwah al wutsqa adalah buhul tali yang amat kokoh, yaitu Laa ilaaha illallaah, artinya barangsiapa kafir kepada thaghut dan iman kepada Allah, maka dia itu adalah orang yang mengamalkan Laa ilaaha illallaah, orang yang sudah masuk Islam, karena pintu masuk Islam adalah dengan perealisasian Laa ilaaha illallaah sebagaimana ini adalah rukun Islam yang pertama.

Orang tidak dikatakan beriman, kecuali jika dia beriman kepada Allah dan kafir kepada thaghut. Jika orang beriman kepada Allah tapi dia tidak kafir kepada thaghut, maka ia bukan orang yang beriman, ia bukan muslim… itu berdasarkan nash Al Qur’an. Maka dari itu Allah dalam ayat ini mendahulukan kafir kepada thaghut “Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah” supaya tidak ada orang yang mengklaim behwa dirinya beriman kepada Allah padahal dia belum kafir kepada thaghut pada realita yang dia kerjakan.

2. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Ali Imran [3]: 64 :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah (Muhammad): “Hai ahli kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ”Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim”.

Jadi, yang diserukan kepada ahli kitab adalah pengajakan untuk berkomitmen dengan Laa ilaaha illallaah, ibadah kepada Allah dan meninggalkan penyekutuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di ujung ayat Allah menyatakan; “jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ”Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim”, maksudnya jika mereka berpaling dan tidak mau meninggalkan para arbab itu, maka saksikanlah bahwa kami ini orang muslim dan kalian bukan orang muslim.

Berdasarkan ayat itu kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang tidak merealisasikan apa yang dituntut oleh ayat ini, yaitu ibadah hanya kepada Allah, meninggalkan sikap penyekutuan sesuatu dengan-Nya dan meninggalkan sikap menjadikan selain Allah sebagai arbaab, maka orang yang tidak mau meninggalkan hal itu adalah bukan orang muslim.

3. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

فَإِذَا انْسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhilah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah ditempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. (QS. At Taubah [9]: 5)

Taubat dari apa…? Taubat dari kemusyrikan dan segala kekafiran… Yang maksudnya adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum muslimin untuk melakukan pembunuhan, pengepungan dan pengintaian apabila orang-orang itu sudah taubat dari segala kemusyrikan dan kekafiran, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, berarti orang muslim itu tidak boleh diganggu. Maka orang yang tidak taubat dari kemusyrikannya berarti dia itu bukan orang muslim.

4. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudara kalian satu agama”. (QS. At Taubah [9]: 11)

Jika mereka bertaubat (dari kemusyrikannya), maka mereka adalah saudara satu agama, maksudnya mereka itu orang-orang muslim, karena sesama muslim adalah saudara, sebagaimana dalam surat Al Hujurat [49]: 10 :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara”.

Berarti jika sebaliknya, dia tidak mau meninggalkan kesyirikannya meskipun dia shalat, zakat, dan melakukan ibadah lainnya, maka dia bukan ikhwan fiddin (saudara satu agama) dan berarti dia bukan orang mu’min, karena ukhuwah imaniyyah itu tidak terlepas dengan dosa-dosa biasa, akan tetapi dengan kesyirikan dan kekufuran. Dan dalam surat Al Baqarah [2]: 178 dikatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya…”

Dalam ayat ini, sang pembunuh dan keluarga yang dibunuh tetap dipersaudarakan. Membunuh sesama muslim adalah dosa besar, tapi tidak menjadikan seseorang keluar dari Islam selama dia tidak menghalalkannya.

Demikianlah beberapa dalil tentang orang yang beriman dari Al Qur’an, sedangkan berikut ini adalah:

B. Dalil Dari As Sunnah

A. Dalam hadits Al Bukhariy dan Muslim Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilaah (yang haq) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, bila mereka melakukan hal itu, maka mereka terjaga darah dan hartanya dari saya, kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka adalah atas Allah”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhenti memerangi manusia sampai mereka komitmen dengan Laa ilaaha illallaah, iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut serta mengakui risalah yang dibawa beliau kemudian membenarkannya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Ini sama dengan penjelasan sebelumnya.

B. Dalam hadits Al Bukhariy dari Abu Malik Al Asyja’iy radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedang perhitungannya atas Allah ta’ala”.

Seseorang dikatakan haram darah dan hartanya, dalam arti dia itu dikatakan muslim, bila komitmen dengan Laa ilaaha illallaah ─iman kepada Allah dan kafir kepada thaghut─, yaitu kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka barulah dikatakan muslim mukmin.

C. Dalil Dari Ijma Ulama Ahlus Sunnah

Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah mengatakan: “Para ulama salaf dan khalaf, dari kalangan shahabat, tabi’in, para imam dan seluruh Ahlus Sunnah telah ijma, bahwa seseorang tidak menjadi muslim, kecuali dengan mengosongkan diri dari syirik akbar dan berlepas diri darinya”. (Ad Durar As Saniyyah, 11/545-546).

Dalam hal ini orang tidak dikatakan muslim bila tidak mengosongkan dirinya dari syirik akbar, tidak berlepas diri darinya dan dari para pelakunya. Ini adalah ijma’ (kesepakatan) ulama, maka perhatikanlah…!

Oleh sebab itu, jika masih atau belum berlepas diri dari kemusyrikan, maka dia itu belum muslim meskipun dia melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang lainnya. Dan selagi dia belum mengosongkan diri dari kesyirikan, maka dia belum muslim walaupun dia shalat, zakat, haji, dan yang lainnya…

Syaikh Sulaiman Ibnu ‘Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah mengatakan: “SEKEDAR mengucapkan Laa ilaaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan Tauhid dan meninggalkan syirik akbar serta kafir terhadap thaghut, maka sesungguhnya (pengucapan) itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma” (nukilan ijma’ dari kitab Taisir Al ‘Aziz Al Hamid)

Orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dia shalat, zakat, shaum dan walaum haji berkali-kali, akan tetapi jika dia tidak meninggalkan syirik akbar, tidak kafir terhadap tahghut, maka dia itu bukan muslim dan tidaklah bermanfaat pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya.

Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah mengatakan: “Ulama ijma’ (sepakat), bahwa orang yang memalingkan satu macam dari dua do’a kepada selain Allah, maka dia telah musyrik walaupun mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dia shalat dan zakat serta mengaku muslim”. (Ibthalut Tandid Bikhtishar Syarh Kitab Tauhid, hal: 67)

Do’a ada dua macam; yaitu do’a yang berupa permohonan yang biasa kita ketahui, dan do’a berupa ibadah seperti; shalat, shaum, zakat, haji, penyandaran hukum, dan lain-lain.

Jadi, bila seseorang memalingkan satu macam ibadah saja kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, meskipun mengucapkan kalimat tauhid, shalat, shaum, zakat dan mengaku sebagai seorang muslim.

Syaikhul Islam Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah mengatakan tentang para pengikut Musailamah Al Kadzdzab: “Di antara mereka ada yang mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kembali menyembah berhala seraya mengatakan: “Seandainya dia (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam) itu adalah Nabi, tentulah tidak akan mati”. Dan di antara mereka ada yang tetap di atas dua kalimah syahadat, akan tetapi dia mengakui kenabian Musailamah dengan dugaan bahwa beliau shalallahu‘alaihi wa sallam menyertakan dia di dalam kenabian, ini karena Musailamah mengangkat para saksi palsu yang bersaksi baginya akan hal itu, namun demikian para ulama ijma’ bahwa mereka adalah orang-orang murtad meskipun mereka jahil akan hal itu. Dan siapa yang meragukan kemurtaddan mereka, maka dia kafir” (Syarh Sittati Mawadli Minash Shirah dalam Mujmu’atut Tauhid, hal. 23)

Bila saja orang yang tidak melakukan kesyirikan, akan tetapi mengangkat seorang manusia biasa sederajat dengan nabi, maka ia telah divonis murtad dan segala amal ibadahnya tidak dianggap, dan bahkan diperangi oleh Abu Bakar Ash Shiddiq dan para shahabat lainnya radliyallahu ‘anhum… maka apa gerangan dengan orang yang mengangkat makhluk pada derajat uluhiyyah (ketuhanan) dengan cara memberikan satu atau beberapa macam dari sifat-sifat khusus ketuhanan…?? Maka ini lebih syirik lagi, lebih kafir lagi dan lebih murtad lagi jika sebelumnya dia mengaku muslim!

Beliau (Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab) rahimahullah juga menukil ijma tentang pengkafiran penguasa ‘Ubaidiyyin di Mesir. Beliau berkata dalam suratnya kepada Ahmad Ibnu Abdil Karim Al Ahsaa’iy, beliau menjelaskan: “Di antara kisah yang terakhir adalah kisah Bani ‘Ubaid, para penguasa Mesir dan jajarannya, mereka itu mengaku sebagai ahlul bait, mereka shalat jama’ah dan shalat jum’at, mereka juga mengangkat para qadliy dan mufti, akan tetapi ulama ijma akan kekafiran mereka, kemurtadannya, keharusan untuk memeranginya, serta bahwa mereka adalah negeri harbiy, wajib memerangi mereka meskipun mereka (rakyatnya) dipaksa lagi benci kepada mereka”. (Tarikh Nejd, 346)

Pada saat itu kajian ada, kesempatan belajar juga ada, shalat juga mereka lakukan bahkan mereka (Bani ‘Ubaid) yang menjadi imamnya, akan tetapi ulama ijma bahwa mereka itu orang-orang murtad kafir harbiy, karena mereka menampakkan kesyirikan akbar.

Demikianlah dalil-dalil dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma yang mengatakan bahwa orang tidak dikatakan sebagai orang muslim, kecuali jika dia beriman kepada Allah dan kafir terhadap thaghut. Sedangkan thaghut yang paling besar di antara thaghut-thaghut zaman sekarang ini adalah thaghut hukum dan perundang-undangan berikut para pembuat hukum dan pemutus hukum yang berpedoman dengannya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan dalam surat An Nisaa’ [4]: 60 :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ

“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir kepada thaghut itu…”

Dalam ayat tersebut tersirat keheranan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena ada orang yang mengaku beriman kepada Al Qur’an dan mengatakan bahwa Al Qur’an adalah kitab suci serta pedoman hidup, akan tetapi ketika ada masalah, mereka malah merujuk kepada hukum thaghut… padahal hukum thaghut bukanlah hukum yang Allah turunkan, sedangkan Allah sudah memerintahkan untuk kafir dan menjauhi thaghut.

Hukum yang dibuat oleh manusia merupakan bisikan syaitan jin, sebagaimana yang Allah jelaskan dalam firman-Nya:

وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ

“Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya…” (QS. Al An’am [6]: 121)

Dan digulirkan oleh syaitan-syaitan manusia, maka itulah thaghut yang dimaksudkan firman Allah dalam surat An Nisaa’ [4]: 60. Maka segala hukum produk manusia dengan segala bentuknya, baik yang dibuat dalam bingkai demokrasi atau yang lainnya, maka selama itu hukum yang bukan berasal dari Allah berarti itu adalah thaghut, karena hanya ada dua macam hukum; hukum Allah atau hukum thaghut. Sedangkan seseorang tidak dikatakan muslim jika tidak kafir kepada thaghut hukum ini, atau pembuatnya dari kalangan syaitan manusia atau pembisiknya dari kalangan syaitan jin.

Jika kita sudah memahami bahwa orang muslim itu adalah orang yang berlepas diri dari kesyirikan. Orang muslim adalah orang yang mentauhidkan Allah dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan, maka dia adalah seorang mu’min dimana saja dan kapan saja. Sebaliknya, jika orang tidak merealisasikan hal ini, dalam arti walaupun dia beribadah kepada Allah akan tetapi di samping beribadah kepada Allah dia tidak kafir kepada thaghut, tapi justeru malah membela-bela atau loyal kepada thaghut, maka dia bukan orang muslim.

Kemudian mari kita lihat realita pemerintahan NKRI ini, apakah mereka kafir kepada thaghut dan iman hanya kepada Allah sehingga mereka mendapat predikat mu’min, sehinggga mereka menjadi ulil amri yang wajib ditaati sebagaimana penjelasan surat An Nisaa’: 59 tadi ? atau justeru sebaliknya…?

Tinjauan Realita Pemerintah NKRI

Bila Dipandang Dari Sisi Tauhid

A. Mereka Menjadi Thaghut

Kenapa demikian? Karena mereka dengan dewan legislatifnya dan sebagian eksekutifnya mengklaim sebagai pembuat hukum, mengklaim yang berhak membuat hukum dan perundang-undangan, bahkan mereka telah membuat dan memutuskan, maka mereka adalah thaghut itu sendiri. Mereka menjadi pembuat hukum yang hukumnya diikuti (baca: diibadati) oleh ansharnya.

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ

“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu”. (QS. An Nisaa’ [4]: 60)

Masyarakat atau anshar thaghut atau siapa saja di antara mereka, ketika memiliki kasus di negeri ini, apakah mereka mengajukan kasusnya kepada hukum Allah ataukan kepada hukum selaim hukum Allah? tentu mereka mengajukannya kepada hukum selain hukum Allah, yang mana hukum itu dibuat oleh para thaghut tadi di gedung Palemen, baik yang ada di lembaga legislatif atau lembaga eksekutif maupun para pemutusnya di dewan yudikatif.

Mereka adalah thaghut, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah dalam Risalah Fi Ma’na Thaghut, bahwa pentolan thaghut yang ke dua adalah Penguasa Zhalim Yang Merubah Ketentuan (Hukum,ed) Allah. Sedangkan di negeri ini, semua hukum Allah dirubah… mulai dari hukum pidana, perdata, ekonomi, dan lain-lain. Semua dicampakkan dan mereka sepakat tidak memakai hukum yang Allah turunkan. Sedangkan sesesorang tidak bisa dikatakan sebagai orang muslim kecuali bila kafir kepada thaghut. Sedangkan dalam hal ini mereka sendiri adalah thaghutnya.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah [9]: 31)

Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis :

1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagai rabb/arbaab.

Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy Ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis bahwa kami telah mempertuhankan mereka atau kami telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka. Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib)

Ketika mereka menyandarkan hak hukum dan pembuatan hukum (tasyri’) kepada selain Allah, maka yang mengaku memiliki hak membuat hukum ini disebut arbaab, yaitu yang memposisikan dirinya sebagau tuhan pengatur selain Allah. Saat hukum itu digulirkan dan diikuti, maka itu adalah arbab yang disembah. Orang yang sepakat di atas hukum ini atau yang mengacu atau yang merujuk pada hukum yang mereka gulirkan itu adalah orang yang Allah vonis sebagai orang musyrik yang menyembah atau mengibadati atau mempertuhankan mereka serta telah melanggar Laa ilaaha illallaah.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram, namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai sembelihan Allah.

Dalam hadits dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu: Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya?”, Rasulullah mengatakan: “Allah yang membunuhnya (mematikannya)”, kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan: “Kambing yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang Mulia dengan pisau dari emas kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.

Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, dan Allah katakan bahwa itu adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu) untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika menyetujui dan mentaati mereka, menyandarkan kewenangan hukum kepada selain Allah meski hanya dalam satu hukum atau kasus saja (yaitu penghalalan bangkai) dengan firman-Nya: “maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”.

Dalam ayat di atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan bahwa:

1. Hukum yang bukan dari-Nya adalah wahyu syaithan.
2. Para penggulirnya (yang mengklaim dirinya berhak membuat hukum) dari kalangan manusia disebut wali-wali syaithan.
3. Yang menyetujuinya atau yang taat atau yang merujuk kepadanya disebut musyrikun.

Bila satu hukum saja dipalingkan dalam hak pembuatannya kepada selain Allah, maka berdasarkan ayat tadi, bahwa orang yang membuat hukum itu disebut wali-wali syaithan (thaghut) yang telah mendapat wahyu atau wangsit dari syaithan, sedangkan orang yang mentaatinya atau setuju dengan hukum buatan tersebut divonis sebagai orang musyrik.

Sedangkan yang ada di NKRI ─dan negara-negara lainnya─ adalah bukan satu, dua, tiga, sepuluh, atau seratus hukum saja, akan tetapi seluruh hukum yang ada di sini adalah bukan dari Allah, tapi dari wali-wali syaitan yang mendapat wahyu dari syaitan jin, baik wali-wali syaitan itu dahulunya orang Belanda (yang mewariskan KUHP) ataupun wali-wali syaitan zaman sekarang yang duduk di kursi parlemen, yang membuat, yang merancang, yang menggodok, atau apapun namanya dan siapapun yang membuat hukum, maka pada hakikatnya mereka adalah wali-wali syaitan dan hukum yang mereka gulirkan hakikatnya adalah hukum syaithan.

Perhatikanlah… jika saja orang-orang yang SEKEDAR mentaati mereka, maka Allah memvonisnya sebagai orang musyrik, maka apa gerangan dengan pembuatnya atau orang yang memutuskan dengannya atau orang yang memaksa masyarakat untuk tunduk kepadanya dengan menggunakan besi dan api (kekuatan dan senjata)…?!!

4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dalam dien (ajaran/hukum) ini apa yang tidak diizinkan Allah ?”. (QS. Asy Syuura [42]: 21)

Dalam ayat tersebut, siapa saja yang membuat syari’at atau hukum atau undang-undang atau ajaran yang tidak diizinkan oleh Allah dinamakan syurakaa (sekutu-sekutu), karena mereka memposisikan dirinya untuk diibadati dengan cara menggulirkan hukum agar diikuti. Mereka merampas hak pembuatan hukum dari Allah, mereka merancang, menggodok, dan menggulirkan di tengah masyarakat. Sedangkan orang-orang yang mentaati atau mengikuti hukum itu disebut orang yang menyembah syuraka tersebut.

B. Mereka berhukum dengan selain hukum Allah atau memutuskan dengan hukum thaghut

Mereka berhukum dengan hukum thaghut, karena selain hukum Allah yang ada hanyalah hukum jahiliyyah atau hukum thaghut, ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Maaidah [5]: 44 :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir”.

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al Maaidah [5]: 50)

Dalam ayat-ayat di atas, orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan adalah orang-orang kafir, sedangkan pemerintah di negeri ini tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, akan tetapi memutuskan dengan hukum thaghut. Maka merekapun divonis kafir berdasarkan ayat-ayat seperti ini, bahkan Allah mevonis orang-orang yang seperti ini sebagai orang-orang zhalim dan fasiq dalam surat Al Maaidah [5]: 45 & 47.

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan dalam Risalah Fie Makna Thaghut, tentang Ru-usuth Thawaghit (tokoh-tokoh para thaghut) yang ke tiga yaitu: Yang Memutuskan Dengan Selain Apa Yang Allah Turunkan.

Jadi pemutus hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah adalah bukan sekedar thaghut, akan tetapi termasuk pentolan thaghut. Sedangkan iman kepada Allah tidak sah kecuali dengan kafir terhadap thaghut, lalu bagaimana mungkin Pemerintah NKRI ini dikatakan sebagai pemerintah muslim mu’min, sedangkan mereka bukan sekedar thaghut, akan tetapi salah satu tokohnya thaghut… maka mereka bukan hanya sekedar kafir, tapi amat sangat kafir !.

C. Mereka merujuk kepada hukum thaghut, baik thaghut lokal, regional maupun internasional

Saat menghadapi masalah, masalah apa saja, maka pemerintah ini tidak merujuknya kepada hukum Allah, tapi kepada hukum thaghut yang bersifat lokal (seperti Undang Undang Dasar atau undang-undang atau yang lainnya), atau hukum-hukum regional, atau hukum-hukum yang ditetapkan oleh mahkamah Internasional PBB. Sungguh… mereka tidak merujuk kepada Al Qur’an atau As Sunnah, akan tetapi merujuk kepada selainnya. Sedangkan dalam surat An Nisaa’ [4]: 60 tadi; Allah merasa heran atas klaim orang-orang yang mengaku telah beriman kepada Al Qur’an dan kitab-kitab Allah sebelumnya, orang-orang yang ketika punya masalah justeru ingin berhakim (mengadukan urusan) kepada thaghut. Perhatikanlah, dalam ayat tersebut sekedar ingin berhukum kepada thaghut sudah Allah nafikan keimanannya. Imannya dianggap sekedar klaim dan kebohongan belaka, maka apa gerangan dengan orang-orang yang benar-benar bersumpah untuk merujuk kepada hukum thaghut…?!

Pemerintah ini, ketika masuk PBB diwajibkan untuk berikrar setuju atas segala peraturan yang digariskannya, begitu juga ketika jajaran pemerintahan dewan legislatif, eksekutif, yudikatif terbentuk, setiap orang diwajibkan bersumpah setia untuk menjalankan hukum negara, inilah syahadat mereka ! inilah bai’at mereka. Apakah di Negara ini ada bai’at untuk taat setia kepada Al Qur’an dan As Sunnah ? tentu jawabannya tidak ada ! maka dari itu setelah bai’at kepada Undang Undang Dasar selesai, mereka selalu mengacu kepadanya, jika seorang Presiden misalnya menyimpang, maka DPR/MPR akan memprotesnya dan mengatakan : “Presiden telah melanggar Undang Undang Dasar atau undang-undang atau… atau…” dan tidak akan mengatakan “Presiden telah melanggar Al Qur’an ayat sekian…” Andaikata seluruh isi Al Qur’an dilanggarpun, maka mereka tidak akan mempermasalahkannya, asal tidak melanggar “kitab hukum suci” mereka, yaitu Undang Undang Dasar 1945 dan undang-undang turunannya.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang berhakim dengan hukum Allah yang telah dihapus adalah kafir, beliau menyatakan: “Barangsiapa meninggalkan hukum yang muhkam (baku) yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu ‘Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum (Allah) yang sudah dihapus, maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang mengacu kepada Ilyasa (Yasiq) dan dia mendahulukannya daripada ajaran Allah, maka dia kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin” (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119)

Ilyasa adalah kitab hukum yang dibuat oleh Jengis Khan raja Tartar. Kitab ini merupakan kumpulan hukum yang sebagiannya diambil dari Taurat orang Yahudi, Injil orang Nashrani, Al Qur’an dan ajaran ahli bid’ah ditambah dengan hasil buah fikirannya lalu dikodifikasikan menjadi sebuah kitab yang disebut Ilyasa atau Yasiq. Para ulama muslimin sepakat mengatakan bahwa siapa saja yang merujuk kepada kitab hukum ini, maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin. Maka demikian pula dengan Yasiq ‘Ashri (Yasiq Modern), yaitu Undang Undang Dasar, KUHP, dan lain-lain, dimana hukum itu diambil dari orang-orang Nashrani (seperti orang Belanda dengan KUHP-nya), dan ada juga dari Islam seperti dalam masalah pernikahan.

Jadi ternyata serupa… maka siapa saja yang merujuk pada Yasiq Modern ini, maka iapun kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin, sedangkan perujukan-perujukan ini telah dilakukan oleh pemerintah NKRI ini…!!

D. Mereka menganut sistem Demokrasi

Demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kedaulatan/kekuasaan). Sistem ini merupakan penyerahan hak hukum atau kedaulatan kepada rakyat. Sistem perwakilan yang ada di dalamnya memberikan hak ketuhanan kepada wakil rakyat yang duduk di parlemen untuk membuat, menetapkan dan memutuskan hukum.

Demokrasi merupakan salah satu bentuk perampasan hak khusus Allah dalam At Tasyri’ (pembuatan, penetapan dan pemutusan hukum atau undang-undang). Hak ini adalah hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hak khusus rububiyyah dan uluhiyyah Allah, hak khusus yang seharusnya disandarkan oleh makhluk hanya kepada Allah. Akan tetapi demokrasi merampasnya dan justeru hak itu diberikan kepada makhluk. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ أَمَرَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“Hak memutuskan hukum itu hanyalah khusus kepunyaan Allah. Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah dien yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf [12]: 40)

Firman-Nya “Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” bermakna: Kalian diperintahkan untuk tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, karena Allah-lah yang berhak untuk membuatnya, untuk menentukannya. Dan dalam ayat ini penyandaran hukum kepada Allah disebut ibadah. Sedangkan dalam demokrasi; hukum disandarkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya, maka demokrasi adalah sistem syirik, karena memalingkan ibadah penyandaran hukum kepada selain Allah.

Demokrasi adalah sistem syirik yang membangun pilar-pilarnya di atas sekulerisme, di atas kebebasan; bebas meyakini apa saja walaupun pendapat syirik atau kekafiran sekalipun. Demokrasi tidak mewajibkan menusia untuk taat kepada ajaran Allah, tapi harus taat kepada kesepakatan rakyat, tatanan perundang-undangan yang berlaku, yang mana notabene adalah hukum buatan manusia.

E. Mereka memiliki Ideologi/ falsafah/ asas/ pedoman/ petunjuk hidup/ nafas bangsa, yaitu Pancasila.

Pancasila adalah dien, karena dien adalah jalan hidup, agama, aturan dan pedoman hidup, falsafah atau silahkan orang menyebutnya apa saja… tapi yang jelas Pansacila adalah dien. Ini singkat saja kita tinjau.

Dalam Pancasila dikatakan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi kita tidak tahu siapa Tuhan Maha Esa yang dimaksud, karena Pancasila mengakui berbagai agama dengan tuhan-tuhannya masing-masing yang beraneka ragam. Maka cukuplah falsafah ini menjadi sesuatu yang rancu bagi orang yang berakal.

F. Tawalliy (loyalitas penuh) kepada kaum musyrikin

Mereka loyal kepada Perserikatan Bangsa Bangsa, tunduk kepada undang-undang internasional dan peraturan lainnya yang ada dalam tubuh PBB. Apapun yang ditetapkannya maka otomatis diikuti. Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum muslimin untuk loyal kepada orang-orang kafir, Allah menyatakan dalam surat Al Maaidah: 51 :

وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“Siapa saja yang tawalliy di antara kalian terhadap mereka maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka”

G. Mereka memperolok-olok ajaran Allah

Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang segala bentuk kemungkaran, sedangkan pemerintahan Negara ini justeru memberikan izin bagi beroperasinya tempat-tempat kemungkaran dengan dalih tempat hiburan, membiarkan berkembangnya media-media penebar kesyirikan, kekufuran, kerusakan dan kebejatan (dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi) dan lain-lain. Itu adalah beberapa perolok-olokan terhadap ajaran Allah, sedangkan memperolok-olok ajaran Allah adalah kekafiran. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (٦٥) لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. (At Taubah [9]: 65-66).

Intinya, jelaslah bahwa Negara dan pemerintahan ini kekafirannya berlipat-lipat. Setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan tidak tunduk pada aturan Allah, maka negara tersebut adalah negara kafir, negara zhalim, negara fasiq dan negara jahiliyyah berdasarkan firman-firman Allah tersebut. Begitu juga pemerintahnya, karena tidak akan berdiri suatu negara tanpa ada pemerintah pelaksananya.

Setelah memahami hal ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa TIDAK BENAR memerintahkan kaum muslimin untuk loyal kepada pemerintah semacam ini dengan menggunakan dalil surat An Nisaa’ [4]: 59, karena ulil amri dalam ayat tersebut adalah “dari kalangan kalian” yang berarti dari kalangan orang-orang yang beriman, sedangkan pemerintahan NKRI ini sudah kita ketahui bahwa mereka BUKAN orang-orang yang beriman, akan tetapi justeru mereka adalah thaghut, orang musyrik, orang-orang kafir, orang-orang murtad. Jadi, jelaslah isi ayat itu tidak sesuai dengan pemerintah ini.

Akan tetapi yang tepat bagi pemerintah semacam ini adalah:

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ

“Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. At Taubah [9]: 12)

Jadi yang tepat bukan harus ditaati, bukan pula diberi loyalitas, akan tetapi yang semestinya ada adalah sikap qital (perang).

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ

“Maka bunuhilah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah ditempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (QS. At Taubah [9]: 5)

Jika mereka bertaubat, maksudnya bertaubat dari kemusyrikannya, dari kethaghutannya, dari kekafirannya, mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah mereka jalan dan jangan diganggu. Sedangkan jika pemerintahan ini tidak bertaubat dari kethaghutannya, dari Pancasilanya, dari demokrasinya dan dari kekufuran lainnya, maka mereka masih masuk ke dalam cakupan ayat tadi.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan (wali-wali) syaitan itu” (QS. An Nisaa’ [4]: 76)

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dalam rangka mengokohkan hukum Allah, menjunjung tinggi ajaran-Nya, sedangkan orang-orang kafir ─yang di antaranya adalah pemerintahan NKRI ini dan ansharnya─ mereka berjuang, berperang, berkiprah dengan segala cara dalam rangka mengokohkan sistem thaghut. Jadi, mereka berperang di jalan thaghut, maka bagaimana seharusnya sikap kaum muslimin? Allah menyatakan: “sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu !”.

Perhatikanlah… mereka bukan ulil amri, akan tetapi mereka adalah wali-wali syaitan yang Allah perintahkan untuk memeranginya.

4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ

“Dan perangilah mereka itu, sampai tidak ada fitnah, dan dien (ketundukan) hanya bagi Allah semata” (QS. Al Baqarah [2]: 193)

Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, tidak ada lagi ideologi syirik, tidak ada lagi kekafiran, tidak ada lagi penghalang kepada jalan Allah, tidak ada lagi penindasan terhadap kaum muslimin yang taat kepada Allah… bukan taat kepada Pancasila atau Undang Undang Dasar atau demokrasi, tapi hanya taat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Selama Ad Dien (ketundukan) belum sepenuhnya kepada Allah, maka al qital (perang) belum berhenti… Selama fitnah (bencana) terhadap kaum muslimin yang taat dan berkomitmen dengan ajaran Allah masih dikejar-kejar atau dipersempit hidupnya, masih ditangkapi, dipenjarakan dan masih dibunuhi… maka berarti masih ada fitnah…! Selama kemusyrikan didoktrinkan maka fitnah masih ada…! Selama fitnah masih ada maka al qital tidak akan berhenti…!

5. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأوَّلِينَ (٣٨) وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu (dibinasakan)”. Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya dien itu semata-mata untuk Allah”. (QS. Al Anfal [8]: 38-39)

Jadi, al qital tidak akan berhenti terhadap para penguasa yang menentang aturan Allah, yang menyebar fitnah (bencana) kemusyrikan dan penindasan terhadap kaum muslimin, merampas dan memeras harta kaum muslimin, baik dengan cara kasar maupun halus, maka qital tidak akan berhenti terhadap pemerintah yang seperti ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas dari kamu” (QS. At Taubah [9]: 123)

Perangilah orang-orang yang ada disekitar kamu, yang ada di dekat kamu dan dalam realitanya bukan hanya dekat, akan tapi mereka telah menguasai harta, diri, dan tanah air kita. Merekalah thaghut penguasa negeri ini, merekalah orang-orang kafir itu. Mereka telah sekian lama memerangi, menindas diri dan merampas harta kaum muslimin. Mereka mewajibkan ini dan itu yang bertentangan dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Merekalah orang-rang kafir yang dekat, maka tidak usah jauh-jauh pergi berperang untuk mencari orang kafir, ini yang dekat justeru sudah memusuhi dan memerangi semenjak dahulu. Bahkan para ulama sepakat bahwa memerangi penguasa murtad adalah lebih harus didahulukan memeranginya daripada orang-orang kafir asli, apalagi orang-orang kafir yang jauh…

6. Hadits ‘Ubadah Ibnu Shamit

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kami, maka kami membai’atnya, maka di antara yang beliau ambil janjinya atas kami adalah kami membai’at(nya) untuk senantiasa mendengar dan taat, saat senang dan saat benci, di waktu sulit dan waktu mudah kami, serta saat kami diperlakukan tidak adil dan agar kami tidak merampas urusan dari yang berhak (penguasa) “kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata dengan bukti dari Allah yang ada pada kalian”. (HR. Bukhari dam Muslim)

Sedangkan kita sudah banyak melihat bentuk-bentuk kekafiran yang dianut dan masih senantiasa dilakukan penguasa negeri ini, sehingga tidak layak berdalil dengan surat An Nisaa’ [5]: 59 untuk menggelari pemerintah ini sebagai ulil amri, akan tetapi yang tepat adalah ayat-ayat yang baru saja dibahas dan ditambah dengan hadits ini.

Para ulama sepakat bahwa orang kafir tidak sah untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Bila pemimpin tersebut asalnya muslim kemudian muncul kekafiran darinya, maka wajib untuk mencopotnya dan menggantinya dengan pemimpin yang muslim. Bila tidak mampu mencopotnya karena mereka menggunakan kekuasaan untuk mempertahankannya, maka wajib diperangi.

Namun dalam relaita zaman ini, kekafirannya bukanlah kekafiran yang bersifat personal, akan tetapi kekafiran yang kolektif dan sistematis, sehingga jika penguasa yang satu mati dan sistemnya belum mati maka orang-orang setelahnya akan menggantikan dia, karena sistem kafirnya tidak mati dan tetap mengakar.

Tugas kita adalah wajib menggalang kekuatan dengan langkah awalnya adalah mengerahkan segala kemampuan dalam menggencarkan dakwah Tauhid yang berkesinambungan untuk mencabut akar-akar loyalitas terhadap thaghut di tengah masyarakat, sehingga thaghut tidak mempunyai tempat lagi di tengah-tengah masyarakat ini.

Jihad terhadap thaghut ini haruslah menjadi opini kaum muslimin, kaum muslimin harus merasa memiliki tanggung jawab terhadap masalah ini, sehingga tidak hanya dipikul oleh kelompok-kelompok tertentu saja. Bukan berarti seluruh kaum muslimin harus terjun dengan menenteng senjata, tapi yang paling penting bagi mereka adalah harus memahami betul bahwa penguasa negeri yang mana mereka hidup di dalamnya adalah penguasa murtad kafir yang tidak boleh diberikan loyalitas, sehingga dengan kesadaran itu lunturlah dukungan kepada para thaghut dan tumbuhlah loyalitas kepada orang-orang yang berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Bila ini terwujud, maka kondisi akan berubah, dukungan kepada thaghut akan berganti dengan penentangan, sehingga mudahlah untuk menjatuhkan para thaghut itu.

BERSABARLAH…!!! Proses ini tidak mudah dan tidak akan terjadi begitu saja, tahap awal yang patut dilakukan adalah memberikan bayan (penjelasan) atau penyampaian risalah tauhid, karena perlu penyadaran terhadap masyarakat tentang kenapa penguasa negeri ini dikatakan sebagai penguasa kafir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ

“Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu” (QS. Al Baqarah [2]: 191)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan untuk mengusir orang-orang kafir sebagaimana mereka pernah mengusir kaum muslimin. Rasulullah diperintahkan untuk mengusir orang-orang kafir sebagaimana mereka telah mengusir Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Perhatikan… para thaghut itu telah mengeluarkan orang-orang yang komitmen dengan ajaran Islam dari jajaran masyarakat dengan cara menanamkan image negatif tentang mereka, memprovokasi, memfitnah dan membodoh-bodohi masyarakat dengan menuduh orang-orang yang bertauhid sebagai orang-orang bodoh, tidak memahami Islam secara utuh, orang yang dangkal pikiran atau orang yang haus dunia dan kekuasaan, maka menjadi wajiblah pula bagi kaum muslimin untuk mencopot para thaghut ini dari benak masyarakat dengan cara menyebarkan ilmu syar’iy, khususnya tentang tauhid dan kewajiban memerangi penguasa semacam itu.

Begitu pula dalam masalah harta, sebagaimana para thaghut itu telah menjauhkan orang-orang berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari harta mereka, bahkan thaghut selalu berupaya mempersulit hidup mereka, maka wajib pula bagi orang-orang yang bertauhid yang komit terhadap ajaran-Nya untuk menjauhkan thaghut dari harta yang mereka miliki, karena sebagian besar harta yang jatuh ke tangan thaghut digunakan untuk mempersenjatai tentara mereka untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya, oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan orang-orang Quraiys agar dilanda paceklik, dengan tujuan agar mereka mendapatkan kesusahan sehingga tidak lagi menindas kaum muslimin dan dana yang mereka keluarkan tidak digunakan untuk mendukung hal itu. Maka haramlah atas setiap muslim untuk membayar atau menyerahkan harta kepada penguasa kafir dalam bentuk apapun, kecuali dalam kondisi terdesak atau dipaksa, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al Maaidah [5]: 2)

Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا

“Janganlah kalian menyerahkan harta-harta kalian kepada orang-orang bodoh itu” (QS. An Nisa [4]: 5)

Perhatikanlah… jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang menyerahkan harta kaum muslimin kepada orang-orang yang tidak bisa menggunakannya dengan benar dan bodoh, sedangkan bentuk kebodohan yang paling dasyat adalah orang-orang yang tidak suka dengan ajaran tauhid, salah satunya yaitu para thaghut. Allah menyatakan:

وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ

“Dan tidak ada yang benci kepada Millah Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri” (QS. Al Baqarah [2]: 130)

Jadi, seharusnya harta yang diambil dari kaum muslimin, mereka pergunakan di jalan Allah, bukan di jalan thaghut yang digunakan untuk memerangi Allah dan kaum muslimin.

Hendaklah diketahui bahwa pemerintahan thaghut ini adalah pemerintahan yang tidak sah, tidak syar’iy, tidak diakui secara Islam. Mereka adalah pemerintah yang memaksakan diri, begitu pula hukum dan undang-undangnya tidak sah, oleh sebab itu kaum muslimin tidak memiliki kewajiban untuk taat pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah thaghut ini, bahkan bebas untuk melanggarnya selama memenuhi dua syarat, yaitu: selama tidak melakukan sesuatu yang dilarang syari’at dan selama tidak menzhalimi orang muslim lainnya.

Demikianlah sikap kita kaum muslimin terhadap para thaghut penguasa negeri ini, bukan loyal dan taat kepada mereka,
tapi ingatlah bahwa kita adalah orang-orang yang ditindas, diperangi dengan berbagai cara kasar dan halus, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, tapi… sungguh banyak kaum muslimin tidak menyadarinya. Ini karena kebanyakan kaum muslimin belum memahami hakikat Laa ilaaha illallaah. Mereka mengira penguasa negeri ini adalah muslim, karena para thaghutnya itu shalat, shaum, zakat, bahkan haji berkali-kali, padahal penguasa negeri ini telah melanggar hal yang paling penting dan fundamental, yaitu syahadat Laa ilaaha illallaah…

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat serta para pengikutnya sampai hari kiamat.

Siapakah Ulil Amri Yang Wajib Ditaati ?

Posted by : Unknown
Date :Senin, 18 Maret 2013
With 0komentar

Dimana Posisimu Wahai Muslimah ???

|
Baca selengkapnya »

Dalam sepekan berapa kalikah Anda datang ke majelis-majelis ilmu wahai saudariku? Sekali, dua kali, tiga kali atau mungkin hampir setiap hari, atau bahkan tidak sama sekali?
Sungguh beruntung saudari-saudariku yang hampir setiap harinya diisi dengan menimba ilmu di majelis-mejelis taklim. Namun, tentunya yang tidak memiliki waktu untuk dapat menyempatkan datang ke majelis taklim karena berbagai kesibukan, entah karena urusan rumah tangga dan anak-anak, atau mungkin karena pekerjaan, janganlah sampai ketinggalan untuk terus meng-upgrade ilmu Anda. Sejatinya tidak ada kata berhenti untuk terus belajar hingga akhir hayat.
Sekarang ini banyak sumber ilmu yang dapat kita peroleh selain dari majelis taklim, bisa dari buku, internet atau mungkin juga dari sahabat, saudara dan orang tua kita. Belajarlah berbagai ilmu dan keterampilan, dan tentu yang paling utama adalah ilmu agama(Diin Islam) sebagai dasar dan landasan kita dalam menjalani kehidupan ini. Mengapa belajar atau menuntut ilmu itu sangat penting, karena ilmu dan pengetahuan kita dapat menyelamatkan ummat dan menjadi pintu kita menuju surga.
Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadist shahih; “man salaka thariiqan, yaltamisu fiihi ‘ilman, shhalallaahu lahuu bihi thariiqan ilal jannah.” Yang artinya, “Barang siapa menempuh jalan untuk menuntuk ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan ke surga.”
Kewajiban menuntut ilmu dalam Islam tidak hanya dibebankan kepada kaum laki-laki, melainkan kepada setiap muslim secara umum, termasuk juga muslimah. Muslimah yang cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas akan memiliki banyak keuntungan dan berpotensi untuk melahirkan generasi-generasi cerdas dan berpengetahuan juga. Muslimah yang cerdas akan menjadi pendamping yang hebat bagi suami dan dapat mengantarkan suaminya tuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Muslimah yang memiliki kedalaman ilmu akan dapat mendidik anak-anak menjadi pribadi-pribadi baik dan berkualitas yang akan membela agama (Diin Islam)  Allah. InsyaAllah.
Namun, tentu muslimah juga dituntut untuk dapat kritis dalam belajar dan menuntut ilmu. Di jaman arus informasi dan teknologi yang berkembang pesat, tidak dapat dipungkiri banyak sumber-sumber pengetahuan yang tidak baik dan bahkan dapat menjerumuskan pada kesesatan. Untuk itu muslimah perlu untuk selalu melihat kebenaran dari ilmu atau informasi yang diperoleh dengan merujuk pada siapakah yang menyampaikan informasi tersebut, bagaimana latarbelakang keilmuan yang dimilikinya, dan yang terpenting apakah informasi atau ilmu yang disampaikannya sesuai dengan sumber ilmu utama kita yaitu Quran dan hadits.
Quran dan hadist adalah sumber ilmu dan pengetahuan yang merupakan wasiat dari Rasulullah. Rasulullah bersabda;“Aku tinggalkan ditengah-tengah kalian dua perkara. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnahku (hadits).”(HR. Malik; Al-Hakim & Baihaqi).
Selain Quran dan hadist kitapun dapat belajar dari sumber lain seperti Sirah Rasulullah, Sirah Para Sahabat dan Sahabiyah, Sirah Nabawiyah, dan Kitab-Kitab Ulama Klasik. Sumber-sumber ilmu tersebut akan memperkaya pengetahuan agama (Diin Islam)  kita, namun tentu akan berat bagi sebagian orang untuk dapat mempelajarinya, terlebih bagi yang tidak atau kurang suka membaca. Untuk itulah adanya majelis-majelis ilmu dengan berbagai tema kajian baik tadabur Quran, sirah dan lainnya akan memudahkan kita untuk mempelajarinya. Mendengar narasumber/penceramah yang menyampaikan kajian mengenai tadabur Quran atau sirah nabawiyah, kemudian meresapi dan mengamalkannya, insya Allah akan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita.

Dan bagi yang tidak dapat menghadiri majelis taklim karena pekerjaan, karena kesibukan di rumah carilah sumber-sumber ilmu yang terpercaya dari buku-buku, dari internet atau dari sahabat yang sering menghadiri majelis-majelis ilmu. Namun, tentu alangkah baiknya jika sesekali menyempatkan hadir pada majelis-majelis ilmu, entah sendiri atau mungkin bersama keluarga. Jika kita masih sempat untuk pergi ke pusat-pusat perbelanjaan sekedar berkumpul bersama sahabat atau keluarga, cobalah sesekali berubah haluan untuk pergi menghadiri pengajian yang diadakan di sekitar rumah Anda. InsyaAllah, ketika Anda telah merasakan nikmatnya menuntut ilmu di majelis-majelis ilmu dan bertemu sahabat-sahabat baru yang selalu mengajak Anda pada kebaikan dan mempelajari hal-hal yang sebelumnya belum diketahui, Anda akan merasa ketagihan. Perlahan mungkin menghadiri majelis-majelis ilmu akan menjadi kebiasaan dan gaya hidup Anda.

Ilmu yang baik adalah ilmu yang bermanfaat. Untuk dapat memperoleh ilmu yang bermanfaat, ada adab-adab dalam menuntut ilmu yang sebaiknya kita lakukan, yaitu :
  • 1.Mengikhlaskan niat menuntut ilmu karena Allah Ta’ala. Tidak boleh kita dalam menuntuk ilmu berniat untuk tujuan yang tidak baik seperti untuk berbantahan dengan ulama, untuk membantah orang-orang bodoh agar terlihat hebat atau perbuatan tidak baik lainnya. Menurut Imam Ibnu Jama’ah rahimahullah, “Niat yang baik dalam menuntut ilmu hendaklah ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, beramal dengannya, menghidupkan syariat, menerangi hatinya, menghiasi batinnya, dan mengharap kedekatan dengan Allah pada hari kiamat, serta mencari segala apa yang Allah sediakan untuk ahlinya (ahli ilmu) berupa keridhaan dan karuniaNya yang besar.”
  • 2.Memohon ilmu yang bermanfaat. Hendaknya setiap penuntuk ilmu senantiasa memohon ilmu yang bermanfaat kepada Allah subhanahu wa Ta’ala dan memohon pertolongan kepadaNya dalam mencari ilmu, serta selalu merasa butuh kepadaNya. Diantara doa yang Rasulullah ucapkan adalah: “Ya Allah, aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amal yang diterima.” (HR. Ahmad)
  • 3.Bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya ilmu yang diperoleh dengan (sungguh-sungguh) belajar, dan sikap sabar (penyantun) diperoleh dengan membiasakan diri untuk sabar. Barangsiapa yang berusaha (keras) mencari kebaikan maka ia akan memperoleh kebaikan dan barangsiapa yang menjaga dirinya dari kejelekan (kejahatan) maka ia akan dilindungi Allah dari kejelekan (kejahatan).” (Diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalamal’ilal mutanaahiyah dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu)
  • 4.Menjauhkan diri dari dosa dan maksiat. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya ad-Daa’ wad Dawaa´ bahwa seseorang tidak mendapat ilmu disebabkan dosa dan maksiat yang dilakukannya. Dosa yang paling besar adalah syirik dan durhaka kepada orangtua. Serta dosa-dosa besar lainnya, seperti makan harta orang lain, utang tidak dibayar, muamalah riba, minum khamr, makan dan minum dari usaha yang haram, membuka aurat di depan yang bukan mahramnya, dusta, ghibah, dan memfitnah seorang muslim. Termasuk sulit untuk menahan gerak lisannya.
  • 5.Tidak boleh sombong dan malu. Lihatlah bagaimana Nabi Musa meninggalkan dakwahnya untuk sementara waktu kemudian menuntut ilmu kepada Nabi Khidir.
  • 6.Diam dan mendengarkan baik-baik pelajaran yang disampaikan. Allah berfirman: “(Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Az Zumar (39) ayat 18).
  • 7.Berusaha memahami ilmu yang disampaikan. Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud pernah berdoa: “Ya Allah tambahkanlah kepada kami keimanan, keyakinan, dan pemahaman (yang benar).” (Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad).
  • 8.Mengikat ilmu dengan tulisan. Rasulullah bersabda; “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dari Anas bin Malik)
  • 9.Mengamalkan ilmu yang telah dipelajari. Rasulullah telah mengingatkan agar kita mengamalkan ilmu yang dipelajari, sebagaimana sabdanya; “Tidak akan beranjak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hinggat ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan kemana ia habiskan, tentang tubuhnya –capek dan letihnya- untuk apa ia gunakan.” (HR. Ar Tirmidzi).
Dal Dalam hal menuntut ilmu, suri teladan bagi muslimah adalah Ummul mukminin kita Ibunda Aisyah. Beliau terkenal sebagai wanita yang pakar dalam bidang periwayatan hadist –sumber hukum dan ajaran Islam yang kedua-, sejarah bangsa Arab, dan ilmu kedokteran di zamannya. Para penuntut ilmu di zamannya berbondong-bondong menimba ilmu darinya.

Dimana Posisimu Wahai Muslimah ???

Posted by : Unknown
Date :
With 0komentar

Hukum Gambar Dalam Islam

|
Baca selengkapnya »
Oleh: Abu Ibrohim Muhammad Ali AM.
-hafidzahullah-

‘’Mustahil hidup di jaman modern terlepas dari gambar,semua membutuhkan’’, ‘’jika gambar tidak disembah maka tidak mengapa,’’ ‘’gambar yang dilarang adalah patung’’, ‘’gambar yang dilarang adalah gambar yang mempunyai bayangan saja’’.–

Itulah sebagian komentar masyarakat berkaitan dengan gambar. Supaya kita tidak salah bersikap dan berucap tentang hukum agama yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Alloh kelak, marilah kita lebih mempelajari hukum gambar dalam agama yang mulia ini, mudah- mudahan sisa hidup kita diberkahi Alloh dan terlepas dari segala perkara yang haram walupun kebanyakan manusia menganggap lumrah.






DALIL-DALIL TENTANG LARANGAN MENGGAMBAR 

- Dari Abdulloh bin Mas’ud, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ

‘’Manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiyamat adalah para tukang gambar.’’ (HR.Bukhori 5494, dan Muslim 3944)

- Dari Ibnu Umar, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

‘’Sesungguhnya orang- orang yang membuat gambar- gambar ini akan diadzab pada hari kiyamat, dikatakan kepada mereka,’hidupkan apa yang kalian ciptakan’ ’’.(HR.Bukhori 5495)

- Dari Ibnu Abbas, beliau mendengar Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

مَنْ صَوَّرَ صُورَةً عُذِّبَ وَكُلِّفَ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا وَلَيْسَ بِنَافِخٍ 

‘’Barangsiapa menggambar suatu gambar, dia akan diadzab dan dibebani untuk meniup ruh di di dalam (gambar itu) sedangkan dia tidak mampu.’’(HR.Bukhori 6520)

- Dari Aisyah, beliau berkata,’’Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit keras, istrinya menyebutkan sebuah gereja yang dinamai ‘’Maria’’, sedangkan Umu Salamah dan Umu Habibah pernah datang ke Negeri Habasyah, lalu ke duanya menceritakan keindahan (gereja itu) dan gambar- gambar di dalamnya, lalu Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepalanya sambil berkata;

أُولَئِكِ إِذَا كَانَ فِيهِمْ الرَّجُلُ الصَّالِحُ فَمَاتَ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكِ الصُّوَرَ أُولَئِكِ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

‘’Mereka itu jika ada seorang tokoh dari mereka meninggal dunia, mereka membangun tempat ibadah di atas kuburnya, lalu mereka membuat gambarnya, mereka adalah sejelek- jelek manusia di sisi Alloh pada hari kiyamat.’’ (HR.Bukhori 416, dan Muslim 822)

- Dari Aisyah, beliau berkata;

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي الْبَيْتِ قِرَامٌ فِيهِ صُوَرٌ فَتَلَوَّنَ وَجْهُهُ ثُمَّ تَنَاوَلَ السِّتْرَ فَهَتَكَهُ وَقَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُصَوِّرُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui saya, dan di dalam rumah ada kain selambu yang ada gambarnya, lalu berubah wajah Rosululloh, kemudian beliau mengambil dan mengoyaknya, (lalu Aisyah berkata), Nabi bersabda,’’Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiyamat adalah orang- orang yang membuat gambar- gambar ini.’’ (HR.Bukhori 5644)

- Dari Abu Tholhah, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا تَصَاوِيرُ

‘’Para malaikat tidak akan masuk rumah yang ada anjing dan gambar- gambar.’’ (HR.Bukhori 5493, dan Muslim 3929)

- Dari Sa-id bin Hasan berkata, datang seseorag kepada Ibnu Abbas lalu berkata,’’Sesungguhnya aku membuat gambar- gambar (bernyawa) ini, maka berilah fatwa tentang hal ini,’’ Ibnu Abbas berkata padanya,’’mendekatlah kepadaku,’’ lalu ia mendekat, kemudian (Ibnu Abbas) berkata lagi, ’’mendekatlah kepadaku,’’ lalu ia mendekat sampai beliau meletakkan tangannya diatas kepalanya, sambil berkata,’’Akan aku beritahu engkau apa yang aku dengar langsung dari Rosululloh, aku mendengar Nabi bersabda,;

كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُورَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَو قَالَ إِنْ كُنْتَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَاصْنَعْ الشَّجَرَ وَمَا لَا نَفْسَ لَهُ

’’Setiap orang yang menggambar akan (diadzab) di neraka, dia diperintahkan untuk meniup ruh untuk setiap gambar yang ia buat, maka dia diadzab dengan hal itu di neraka,’’ Lalu beliau berkata,’’jika kamu harus melakukannya (menggambar), maka gambarlah pohon dan sesuatu yang tidak mempunyai ruh.’’ (HR.Muslim 3945)

- Dalam lafadh yang lain, Ibnu Abbas mengatakan, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘’Barangsiapa membuat suatu gambar, maka Alloh akan mengadzabnya sampai dia meniup ruh dalam gambar itu, padahal dia tidak mampu selama- lamanya, lalu orang tersebut menjadi sangat goncang, dan wajhnya pucat,’’ lalu Nabi bersabda,

وَيْحَكَ إِنْ أَبَيْتَ إِلَّا أَنْ تَصْنَعَ فَعَلَيْكَ بِهَذَا الشَّجَرِ كُلِّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ

’’Celaka engkau, jika kamu enggan untuk(meninggalkan) perbuatanmu, maka gambarlah pohon atau apapun yang lain yang tidak ada ruhnya.’’ (HR.Muslim 2073)

PERBEDAAN ANTARA “MENGGAMBAR” dan “MENGGUNAKAN/MEMANFAATKAAN GAMBAR”

Dalam hadits- hadits yang shahih diterangkan menggambar makhluk bernyawa hukumnya haram secara total, adapun menggunakannya jika dengan cara menghinakannya, maka dibolehkan. Imam Nawawi mengatakan,’’Adapun menggunakan gambar hewan jika ditempel di dinding atau baju yang dikenakan, sorban atau semisalnya bukan menjadikan gambar tersebut untuk dihinakan, maka hukumnya tetap haram, tetapi jika digunakan untuk alas yang diinjak, untuk bantal, atau dihinakan dengan cara yang lain maka hukumnya tidak haram.’’[2]

Ibnu Abidin berkata,’’adapun yang membolehkan menggambar makhluk bernyawa dengan dalil bahwa Nabi, para sahabatnya, dan para tabi’in pernah menggunakan gambar tersebut untuk bantal, maka jawabnya, sesungguhnya menggunakan/ memanfaatkan gambar bernyawa bukan berarti menbolehkan menggambar yang bernyawa, hal ini lantaran adanya nash/ dalil- dalil yang mengharamkan menggambar makhluk bernyawa, dan terlaknatnya mereka, maka (menggambar) berbeda hukumnya dengan memanfaatkan gambar, apalagi ada keterangan bahwa menggambar yang bernyawa adalah menandingi ciptaan Alloh dan ini tidak terdapat pada masalah ‘’memanfaatkan’’ gambar tersebut (jika dihinakan).’’[3]

HUKUM MENGGAMBAR

Setelah kita cermati dalil- dalil di atas, maka secara dhohir menunjukkan keharaman menggambar makhluk bernyawa, dan inilah pendapat mayoritas para ulama diantaranya, madzhab Hanafi, madzhab Syafii dan madzhab Hanbali[4], sebagaimana dalil- dalil yang sangat banyak dan gamblang, dan ada perbedaan pendapat di kalangan mereka tentang hukum menggambar, perinciannya sebagai berikut;

1. Menggambar makhluq bernyawa YANG TIDAK DIHINAKAN

Maksudnya adalah menggambar makhluk bernyawa diatas kain, kertas, dinding, papan dan semisalnya, yang mana gambar tersebut tidak dihinakan seperti diduduki, diinjak atau dipakai sandaran dan semisalnya, ada sedikit perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama:

Mayoritas para ulama (madzhab Hanafi, madzhab Syafii, dan madzhab Hanbali, dan kebanyakan ulama terdahulu/ulama salaf) mengharamkannya.[5]

Dalil mereka:

- Dalil keharaman menggambar makhluq bernyawa yang tidak dihinakan adalah hadits- hadits yang disebutkan diatas yang secara dhohir menunjukkan haram.

Imam Nawawi berkata,’’Madzhab kami dan madzhab lain mengatakan bahwa menggambar hewan adalah perbuatan haram yang sangat besar, termasuk dosa besar lantaran diancam dengan ancaman yang sangat keras dalam hadits, samasaja apakah dihinakan atau tidak dihinakan, semuanya hukumnya haram, karena hal itu termasuk menandingi ciptaan sang pencipta, sama hukumnya apakah di baju, tikar, uang dinar, dirham atau uang kertas, bejana, dinding atau selainnya. Adapun menggambar pohon, perlengkapan onta/ kendaraan, dan gambar lain yang bukan gambar hewan, maka hukumnya tidak haram, inilah hukum gambar.’’[6]

Pendapat ke dua:

Madzhab Maliki menganggap hal itu makruh.

Dalil mereka:

- Dalam sebuah riwayat hadits yang muttafaq ‘alaih ada tambahan yang mengisyaratkan bahwa gambar tersebut tidak haram tetapi makruh walupun tidak dihinakan, seperti riwayat Sahl bin Hanif, beliau mengatakan, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ الصُّورَةُ 

قَالَ بُسْرٌ ثُمَّ اشْتَكَى زَيْدٌ فَعُدْنَاهُ فَإِذَا عَلَى بَابِهِ سِتْرٌ فِيهِ صُورَةٌ فَقُلْتُ لِعُبَيْدِاللَّهِ رَبِيبِ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَمْ يُخْبِرْنَا زَيْدٌ عَنْ الصُّوَرِ يَوْمَ الْأَوَّلِ فَقَالَ عُبَيْدُ اللَّهِ أَلَمْ تَسْمَعْهُ حِينَ قَالَ إِلَّا رَقْمًا فِي ثَوْبٍ

‘’Sesungguhnya para Malaikat tidak akan masuk rumah yang ada gambarnya.’’ Busr berkata,’’ketika Zaid sakit, akau menjenguknya, dan ternyata ditrumahnya ada gambarnya, lalu aku berkata kepada saudara tirinya Maimunah (istri Nabi),’’Bukankan Zaid telah mengabari kita tentang (larangan) gambar sejak dahulu?’’ lalu Ubaidillah berkata,’’Apakah kamu tidak mendengar saat beliau berkata ‘’kecuali gambar di kain?’’, (HR.Bukhori 5501, dan Muslim 3931)

- Mereka mengatakan bahwa menggambar makhluk bernyawa makruh dengan dalil bahwa yang haram adalah membuat patung yang berbentuk makhluk hidup sebagaimana sabdanya,

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً أَوْ لِيَخْلُقُوا حَبَّةً أَوْ شَعِيرَةً

‘’Tidak ada seorangpun yang lebih dholim daripada seorang yang membuat ciptaan seperti ciptaan-Ku, maka (kalau mereka mampu) ciptakanlah jagung, biji- bijian,atau gandum.’’ (HR.Bukhori 7004, dan Muslim 3947)

- Mereka mengatakan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Aisyah, beliau melihat gambar bernyawa di kelambu rumahnya, lalu kain bergambar itu dijadikan dua bantal dan dipakai bersandar oleh Rosululloh, mereka mengatakan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai bantal yang bergambar menunjukkan gambar semacam ini tidaklah haram tetapi makruh (lihat HR.Bukhori 5644 diatas)

Pendapat yang kuat, adalah pendapat mayoritas para ulama, karena dalil- dalil mereka lebih kuat, adapun hadits- hadits yang dibawakan oleh madzhab Maliki, maka jawabannya sebagai berikut;

- Hadits pertama tidak jelas untuk menjadi dalil bolehnya gambar makhluk bernyawa yang tidak dihinakan, ada kaidah yang disebutkan para ulama,’’jika terdapat kemungkinan yang tidak pasti maka tidak sah dijadikan sebagai dalil,’’ artinya perkataan
إِلَّا رَقْمًا فِي ثَوْبٍ (kecuali gambar yang dikain)maknanya mengandung kemungkinan gambar bernyawa atau yang lain (seperti pohon dan semisalnya).

Imam Nawawi berkata,’’dikompromikan hadits- hadits tersebut, bahwa maksud dari pengecualian ‘’gambar yang dikain’’ adalah gambar- gambar di kain yang tidak bernyawa, seperti pohon, dan semisalnya.’’[7]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,’’(pengecualian gambar di kain itu) mengandung kemungkinan dibolehkannya (gambar bernyawa) itu sebelum adanya larangan gambar bernyawa.’’[8]

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata,’’perkataan Nabi
إِلَّا رَقْمًا فِي ثَوْبٍ (kecuali gambar yang dikain) termasuk salah satu hadits yang mutasyaabihaat/kurang jelas, sedangkan kaidah yang benar adalah (sesuatu yang mutasyaabihaat/kurang jelas) harus dikembalikan kepada yang sudah jelas (muhkam), [sebagaimana firman-Nya,’’ Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". QS. Ali Imron: 7, -ed.]

Maka yang kurang jelas dikembalikan kepada yang sudah jelas supaya tidak ada masalah, sehingga perkataan dalam hadits
إِلَّا رَقْمًا فِي ثَوْبٍ (kecuali gambar yang di kain) mengandung kemungkinan bermakna umum bisa gambar hewan atau pohon dan lainnya, maka ketidakjelasan ini harus dibawa kepada yang sudah jelas yang menjelaskan maksudnya yaitu gambar yang dikecualikan (yang dibolehkan) adalah gambar yang bukan hewan atau manusia, sehingga tidak bertentangan antara satu dengan yang lain.’’[9]

- Hadits kedua, jawabannya, hadits tersebut tidak bisa dipahami kecuali dengan melihat sebabnya, riwayat lengkapnya sebagai berikut;

عن أَبُو زُرْعَةَ قَالَ دَخَلْتُ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ دَارًا بِالْمَدِينَةِ فَرَأَى أَعْلَاهَا مُصَوِّرًا يُصَوِّرُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذَهَبَ يَخْلُقُ كَخَلْقِي فَلْيَخْلُقُوا حَبَّةً وَلْيَخْلُقُوا ذَرَّةً

Dari Abu Zur’ah berkata,’’Aku bersama Abu Hurairah masuk sebuah rumah di Madinah, lalu (Abu Hurairah) melihat gambar- gambar yang di lukis diatas (rumah), lalu beliau berkata,’’Tidak ada yang lebih dholim daripada orang yang berusaha menciptakan sesuatu seperti ciptaanku, (kalau dia mampu) ciptakanlah biji- bijian, dan jagung.’’(HR.Bukhori 5497, dan Muslim 3947)

Kita dapat memahami bahwa yang dilihat oleh Abu Hurairah dan diingkari adalah gambar- gambar yang berada diatas dinding, ini tidak mungkin dikatakan bahwa maksudnya adalah patung makhluk hidup.

- Hadits ke tiga justru menjadi dalil bagi yang mengharamkannya, lihatlah ketika Nabi masuk rumahnya dan melihat gambar tersebut, Aisyah berkata;

فَتَلَوَّنَ وَجْهُهُ ثُمَّ تَنَاوَلَ السِّتْرَ فَهَتَكَهُ 

‘’Lalu wajah Rosululloh berubah (marah), kemudian beliau mengambil dan mengoyaknya.’’ 

Dalam riwayat lain, ketika Rosululloh melihat gambar tersebut lalu marah dan mengingkarinya, Aisyah mengatakan;

أَتُوبُ إِلَى اللَّهِ وَإِلَى رَسُولِهِ 

‘’Aku bertaubat kepada Alloh dan Rosul-Nya.’’(HR.Bukhori 1963, dan Muslim 3941)

semua perkataan diatas menguatkan bahwa gambar bernyawa walaupun tidak dihinakan hukumnya tetap haram dan harus bertaubat darinya.

2. menggambar makhluk bernyawa tetapi DIHINAKAN 

Maksud dari perkataan menghinakan gambar adalah seperti diletakkan untuk alas kaki, dipakai untuk berbaring, bersandar dan semisalnya, dalam kata lain gambar tersebut tidak digantung atau ditempel[10].

Menggambar makhluk bernyawa telah diharamkan tanpa melihat apakah nanti digunakan untuk dihinakan atau tidak dihinaka., Oleh karena itu, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari setiap gambar bernyawa yang ia jumpai, dalam sabdanya tatkala Rosululloh mengoyaknya sambil berkata;

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ قَالَتْ عائشة فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ

‘’Manusia yang paling keras siksanya pada hari qiyamat adalah orang- orang yang menandingi ciptaan Alloh (tukang gambar).’’ Aisyah berkata,’’maka aku jadikan kain bergambar itu menjadibantal atau dua bantal [11].’’(HR.Bukhori 5498)

3. hukum menggambar makhluk bernyawa tetapi DIPOTONG KEPALANYA

Para ulama berbeda pendapat tentang menggambar makhluk bernyawa yang dipotong kepalanya.

Pendapat pertama, boleh menggambar makhluk bernyawa yang dipotong kepalanya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, seperti madzhab Hanafi, madzhab Syafii, madzhab Maliki, madzhab Hanbali[12].

Dalil mereka

- Diantara dalilnya hadits Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata,’’Malaikat Jibril datang kepadaku, lalu dia berkata padaku,’’tadi malam aku datang kepadamu, tidak ada yang menghalangiku masuk kecuali karena ada gambar- gambar di pintu.’’lalu (Jibril) berkata,

فمر برأس التمثال يقطع فيصير كهيأة الشجرة 

’’perintahkan supaya ‘ timtsal’[13] (gambar- gambar) yang ada di rumah itu untuk dipotong kepalanya supaya menjadi seperti bentuk pohon…’’ (HR.Abu Dawud 3504, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits as-Shahihah 356).

- Dalil lain adalah hadits Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda;

الصورة الرأس ، فإذا قطع الرأس ، فلا صورة 

‘’Gambar itu (intinya) adalah kepalanya, jika dipotong kepalanya maka bukan gambar (yang dilarang, -ed).’’[14]

Pendapat ke dua, haram menggambar makhluk bernyawa walaupun dipotong kepalanya, ini adalah pendapat Imam Qurtubi, dan al-Mutawalli[15].

Dalil mereka. Keumuman larangan- larangan gambar makhluk bernyawa dan mereka tidak mengecualikan sama sekali gambar- gambar bernyawa yang dibolehkan.

Pendapat yang kuat; pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama yaItu boleh menggambar gambar bernyawa jika kepalanya dipotong karena dalil- dalilnya lebih gamblang dan kuat.

Catatan:

Berkata Syaikh Al-Abani,’’Adapun gambar- gambar (bernyawa) yang dicetak di lembaran kertas, atau di lukis dikain maka (untuk menghilangkannya) tidak cukup hanya menggaris sebuah garis diatas lehernya supaya terlihat gambarnya terputus (antara badan dan kepala), tetapi harus benar- benar dihilangkan kepalanya, dengan demikian bentuknya tidak kelihatan sehingga menjadi seperti bentuk pohon sebagaimana sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.’’ (Silsilah Ahadits Shahihah 1921).

4. Menggambar kepala saja TANPA BADAN

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama,haramkan menggambar kepala saja walaupun tanpa badan, ini pendapat sebagian pengikut madzhab Syafii, madzhab Hanbali, dengan dalil- dalil, seperti sabdanya;

الصورة الرأس ، فإذا قطع الرأس ، فلا صورة 

‘’Gambar itu (intinya) adalah kepalanya, jika dipotong kepalanya maka bukan gambar.’’ (HR.Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubro 7/270, As-Suyuthi dalam al-Jami’ as-Shoghir, dan disahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah 1921)

Dalam riwayat lain diperjelas dengan sabdanya;

الصورة الرأس فكل شيء ليس له رأس فليس بصورة

‘’Gambar itu adalah kepalanya, maka segala sesuatu yang tidak ada kepalanya bukan termasuk gambar.’’ (HR.Al-Baghowi dalam Syarhus Sunnah 12/134, dari jalan Abu Hurairah).

Pendapat ke dua; boleh menggambar kepala saja dari makhluk bernyawa. alasannya yang dilarang adalah menggambar makhluk bernyawa yang utuh, adapun jika menggabar kepala saja tidak dilarang karena kepala saja tidak akan hidup kecuali dengan badan.[16]

Pendapat yang kuat; adalah pendapat yang pertama karena dalilnya lebih kuat karena gambar itu intinya adalah kepala, sedangkan pendapat yang ke dua tidak menyertakan dalil sama sekali.

5. Gambar KARIKATUR

Maksudnya menggambar yang dilakukan oleh para tukang gambar untuk mengungkapkan sifat/karakter yang ada pada obyek yang digambar, seperti menggambarkan bahwa si fulan sedang marah dan semisalnya.

Menggambar semacam ini hukumnya haram, karena beberapa alasan, diantaranya;

- Gambar tersebut adalah gambar (makhluk, -ed) bernyawa, dan hukum menggambar makhluk bernyawa adalah haram secara muthlak.

- Gambar ini biasanya dibuat lebih buruk dari aslinya seperti badannya dibuat kecil tetapi kepalanya besar, hidung lebih dibesarkan atau mata lebih dilebarkan atau dibuat gambaran seorang yang sangat menakutkan, dan ini termasuk mengolok- olok/menghina orang yang digambar, padahal mengolok- olok/ menghina ciptaan Alloh hukumnya haram.

6. GAMBAR CETAK (foto hasil kamera)

Gambar- gambar yang dihasilkan dari alat- alat modern tidak pernah ada pada zaman dahulu dan mulai dikenalkan oleh seorang kewarganegaraan Inggris pada tahun 1839 M.

Para ulama masa kini berbeda pendapat dalam hal ini.

-Syaikh Muhammad bin Ibrohim, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Shalih al-Fauzan, Syaikh al-Albani, segenap anggota Lajnah Da’imah, serta yang lainnya berpendapat haram kecuali jika ada kebutuhan yang mendesak[17].

Alasan mereka; karena hasil cetakan kamera/foto dan alat modern tidak bisa lepas dari sebutan gambar, hanya saja cara mendapatkannya berbeda, yang dihukumi adalah hasilnya bukan caranya, sedangkan gambar makhluk bernyawa adalah haram.[18]

- Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh Shalih al-Luhaidan dan lainnya membolehkannya [19]

Alasannya; foto hasil kamera tidak sama dengan melukis dengan tangan, orang yang menfoto hanya menekan tombol lalu jadilah sebuah foto, maka ini tidak lain hanya memindahkan gambar dengan kamera dan bukan menggambar, dan orang yang menfoto tidak menandingi ciptaan Alloh karena dia hanya memindahkan gambar saja dengan alat modern.

Pendapat yang kuat; Adalah yang pertama,yaitu yang mengharamkan foto gambar makhluk bernyawa, hal ini dikuatkan oleh beberapa hal, diantaranya;

- Foto yang dihasilkan oleh kamera juga sama dengan gambar dari hasil tangan, hal ini lantaran hikmah larangan menggambar dengan tangan sama dengan larangan foto, yaitu menandingi dan menyerupai ciptaan Alloh, bahkan foto lebih mirip dengan aslinya dari pada gambar hasil tangan, bahkan sebab foto itu lebih mirip dengan aslinya, maka bahaya dan fitnahnya lebih besar dari gambar lukisan tangan[20].

- Foto tidak lain adalah perkembangan dari gambar lukisan tangan sebagaimana berkembangnya segala sesuatu menurut perkembangan zaman, dan kita mengetahui bahwa perbedaan cara tidak membedakan hukumnya jika keduanya sama hasilnya (yaitu gambar), oleh karena itu dahulu mobil dibuat dengan tangan manusia, tetapi sekarang semuanya dengan mesin[21]

- Adapun perkataan bahwa foto kamera tidak lain adalah sama dengan cermin dan tidak ada yang mengatakan gambar cermin hukumnya haram, maka jawabnya adalah, berbeda antara foto dengan cermin karena gambar di cermin tidak diam/tetap, sedangkan gambar foto adalah gambar yang diam/ tetap seperti lukisan.[22]

Catatan penting:

Para ulama yang membolehkan foto mensyaratkan beberapa hal diantaranya;

- tidak boleh berupa foto yang diharamkan seperti foto kaum wanita, foto porno, foto yang mengandung syi’ar orang kafir atau kesyirikan, foto yang mempermainkan agama islam, foto berupa pengagungan/ pengultusan para tokoh, dan semisalnya.[23]

MEMANFAATKAN GAMBAR BERNYAWA

1. Hukum memanfaatkan dengan dihinakan

Memanfaatkan gambar bernyawa jika dihinakan, maka Para ulama berbeda pendapat tentangnya;

- Sebagian ulama berpendapat boleh menggunakan/memanfaatkan gambar bernyawa jika dihinakan, ini adalah pendapat mayoritas ulama, seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah[24], dan Imam Syafii. Imam Nawawi mengatakan bahwa ini adalah madzhab mayoritas sahabat Nabi dan para tabi’in.[25]

- Sebagian ulama yang lain berpendapat makruh menggunakan/ memanfaatkan gambar bernyawa walaupun dihinakan, mereka berdalil dengan keumuman hadits- hadits seperti;

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا تَصَاوِيرُ

‘’Para malaikat tidak akan masuk rumah yang ada anjing dan gambar- gambar.’’ (HR.Bukhori 5493, dan Muslim 3929)

Mereka menambahkan, Nabi mengoyak gambar lalu dijadikan sarung bantal, sehingga gambar tersebut hilang dan dijadikan sarung bantal sehingga tidak lagi terdapat gambarnya[26].

- Jalan tengah; hadits- hadits yang menunjukkan bahwa Nabi menggunakan gambar bernyawa dengan cara dihinakan (digunakan sebagai sarung bantal) tidak dapat kita ingkari keabsahannya, dan ini menunjukkan kebolehannya, hanya saja jika seorang muslim mampu meninggalkannya secara total, maka sudah selayaknya dia tinggalkan karena dikhawatirkan para Malaikat tidak masuk rumahnya[27].

2. MEMBELI MAJALAH/KORAN yang bergambar makhluk bernyawa

Majalah dan Koran tidak lepas dari dua macam, pertama majalah atau koran yang menonjolkan pornografi, maka haram hukumnya membelinya, yang kedua, majalah atau Koran yang tidak menonjolkan gambar, kecuali sekedar sebagai penjelas saja, maka menurut Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh bin Baz boleh untuk membelinya karena gambar- gambar tersebut bukan menjadi tujuannya. [28]

HIKMAH LARANGAN MENGGAMBAR DALAM ISLAM[29]

Setelah kita mengetahui hadits- hadits larangan gambar, maka kita ketahui ada beberapa hikmah dari larangan tersebut, diantaranya;

1. Menggambar (terutama makhluk bernyawa) adalah menandingi ciptaan Alloh, hal ini ditegaskan dalam hadits yang lebih jelas, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ 

‘’Manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiyamat adalah orang- orang yang menandingi ciptaan Alloh.’’ (HR.Bukhori5954)

2. Menggambar makhluk bernyawa, menjadi jalan menuju pengagungan dan pengkultusan berlebihan terhadap makhluq Alloh yang telah mati, dan akhirnya menjadi kesyirikan, hal ini sebagaimana terjadi pada kaum Nuh yang mengkultuskan para tokoh agama mereka yaitu Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr (QS.Nuh 23).

Imam Bukhori meriwayatkan dari Ibnu Abbas beliau berkata,’’Berhala- berhala yang dimiliki kaum Nabi Nuh dimiliki juga oleh bangsa arab setelah itu, adapun Wad, maka itu adalah berhalanya bani Kalb di daerah Daumatil Jandal, Suwa’ adalah berhalanya suku Hudhail, Yaguts adalah berhalanya bani Murod kemudian menjadi milik bani Ghuthaif di al-Jauf dekat negeri Saba’, Ya’uq adalah berhalanya suku Hamadan, adapun Nasr dia adalah berhalanya bani Himyar dari golongan bani Kila’. Mereka semua (Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr) adalah nama- nama tokoh yang shalih dari kaum Nabi Nuh, takala mereka mati, setan membisikkan kepada kaum mereka supaya mereka memajang gambar- gambar mereka di majlis- majlis mereka, dan supaya mereka memberi nama (gambar- gambar tersebut) dengan nama- nama mereka, lalu mereka benar- benar melaksanakannya dan saat itu belum disembah, sehingga ketika kaum ini binasa dan hal ini terlupakan, kemudian akhirnya disembah.’’ (HR.Bukhori 4539).

3. Manusia membutuhkan rahmat Alloh dan pertolongan-Nya, sedangkan gambar- gambar makhluk bernyawa menghalangi para malaikat untuk masuk ke dalamnya, suatu tempat yang terdapat gambar bernyawa tidak akan dimasuki oleh para malaikat (lihat HR.Bukhori 5493, dan Muslim 3929).

4. Menggambar makhluK bernyawa dan memajangnya adalah termasuk perbuatan menyia- nyiakan harta, sedangkan kaum muslimin diperintahkan untuk menjaga harta mereka, dan tidak membelanjakannya pada perkara- perkara yang tidak bermanfaat, apalagi perkara yang haram.[30]

5. Menggabar makhluk bernyawa dan memajangnya adalah perbuatan orang Yahudi dan Nasrani, maka jika dilakukan oleh kaum muslimin berarti bertasyabbuh/ mengikuti jalan mereka (lihat kembali HR. Bukhori 416, dan Muslim 822)

* rubrik Fiqh di majalah Al Furqon, no.108, Edisi 05 Tahun Kesepuluh Dzulhujjah 1431 H, hal. 33-39a

Hukum Gambar Dalam Islam

Posted by : Unknown
Date :
With 0komentar
Next Prev
▲Top▲