Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

slide to unlock

Messages from admin
#Syukron Jazakallah Telah Berkunjung . O(≧▽≦)O
#Afwan yah, apabila ada kesalahan ~ (ノ ̄д ̄)ノ)
#Mari sama2 kita sokong seluruh Akhwat indonesia untuk jadi muslimah yang HAQ. (✖╭╮✖)
#Semoga Blog ini masih tetap bermanfaat,walaupun kurang menarik. (´・ω・`)
#Maju terus Akhwat Indonesia! ヽ(^▽^)人(^▽^)人(^▽^)ノ

Newest Post

Hukum Menjadi Pegawai Bank Dalam Pandangan Islam

| Selasa, 12 November 2013
Baca selengkapnya »
Majelis Ulama Indonesia (MUI), melalui Komisi Fatwa-nya dalam forum Rapat Kerja Nasional dan Ijtima’ Ulama Indonesia, sejak hampir 6 tahun yang lalu tepat pada hari Selasa 16 Desember 2003 telah mengeluarkan fatwa tentang bunga. Fatwa itu intinya menyatakan bahwa bunga pada bank dan lembaga keuangan lain yang ada sekarang telah memenuhi seluruh kriteria riba. Riba tegas dinyatakan haram, sebagaimana firman Allah SWT:


وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).


Karena riba haram, berarti bunga juga haram. Karena itu, sejujurnya tidak ada yang istimewa dari fatwa MUI ini. Bahkan sejatinya, untuk perkara yang segamblang atau qath‘î itu tidaklah diperlukan fatwa, alias tinggal dilaksanakan saja. Artinya, fatwa itu lebih merupakan penegasan saja. Sebagai penegasan, fatwa ini sungguh penting karena meski jelas-jelas dilarang al-Quran, praktik pembungaan uang di berbagai bentuk lembaga keuangan tetap saja berlangsung hingga saat ini.
Tulisan kali ini akan lebih membahas tentang besarnya dosa riba dan keterlibatan di dalamnya (Tulisan lengkapnya dapat dilihat di buku kami: “Hukum Seputar Riba dan Pegawai Bank”yang diterbitkan Ar-Raudhoh Pustaka).



Dosa Riba
Seberapa besar dosa terlibat dalam riba, maka cukuplah hadits-hadits shahih berikut menjawabnya:
“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).


“Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan” Orang-orang bertanya, apakah gerangan wahai Rasul? Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa orang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri waktu datang serangan musuh dan menuduh wanita mu’min yang suci berzina”. (HR Bukhari Muslim)


Terlibat dalam riba (Bunga Bank) adalah termasuk dosa besar, yang sejajar dengan dosa syirik, sihir, membunuh, memakan harta anak yatim, melarikan dari jihad, dan menuduh wanita baik-baik berzina. Naudzubillah. Bahkan apabila suatu negeri membiarkan saja riba berkembang di daerahnya maka sama saja ia menghalalkan Allah untuk mengazab mereka semua.


“Apabila riba dan zina telah merajalela di suatu negeri, maka rakyat di negeri itu sama saja telah menghalalkan dirinya dari azab Allah” (HR. Al Hakim)


Pertanyaannya, jika Bank itu diharamkam karena Riba, lalu bagaimanakah hukum bagi orang yang bekerja di dalamnya (pegawai Bank)?



Hukum Menjadi Pegawai Bank Konvensional
Telah sampai kepada kita hadits riwayat Ibnu Majah dari jalan Ibnu Mas’ud dari Nabi SAW:
“Bahwa beliau (Nabi SAW) melaknat orang yang makan riba, orang yang menyerahkannya, para saksi serta pencatatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:


“Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.” (HR. Muslim)


Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
“Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)


Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:
“Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya –jika mereka mengetahui hal itu– maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat.” (HR. Nasa’i)


Dari hadits-hadits ini kita bisa memahami bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi ijarah (sewa/kontrak kerja) terhadap salah satu bentuk pekerjaan riba, karena transaksi tersebut merupakan transaksi terhadap jasa yang diharamkan.
Ada empat kelompok orang yang diharamkan berdasarkan hadits tersebut. Yaitu; orang yang makan atau menggunakan (penerima) riba, orang yang menyerahkan (pemberi) riba, pencatat riba, dan saksi riba. dan saat ini jenis pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang membanggakan sebagian kaum muslimin serta secara umum dan legal (secara hukum positif) di kontrak kerjakan kepada kaum muslimin di bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan dan pembiayaan. Berikut adalah keempat kategori pekerjaan yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan diatas:



1. Penerima Riba
Penerima riba adalah siapa saja yang secara sadar memanfaatkan transaksi yang menghasilkan riba untuk keperluannya sedang ia mengetahui aktivitas tersebut adalah riba. Baik melalui pinjaman kredit, gadai, ataupun pertukaran barang atau uang dan yang lainnya, maka semua yang mengambil atau memanfaatkan aktivitas yang mendatangkan riba ini maka ia haram melakukannya, karena terkategori pemakan riba. Contohnya adalah orang-orang yang melakukan pinjaman hutang dari bank atau lembaga keuangan dan pembiayaan lainnnya untuk membeli sesuatu atau membiayai sesuatu dengan pembayaran kredit yang disertai dengan bunga (rente), baik dengan sistem bunga majemuk maupun tunggal.

2. Pemberi Riba.
Pemberi riba adalah siapa saja, baik secara pribadi maupun lembaga yang menggunakan hartanya atau mengelola harta orang lain secara sadar untuk suatu aktivitas yang menghasilkan riba. Yang termasuk dalam pengertian ini adalah para pemilik perusahaan keuangan, pembiayaan atau bank dan juga para pengelolanya yaitu para pengambil keputusan (Direktur atau Manajer) yang memiliki kebijakan disetujui atau tidak suatu aktivitas yang menghasilkan riba.

3. Pencatat Riba
Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi pencatat aktivitas yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya para teller, orang-orang yang menyusun anggaran (akuntan) dan orang yang membuatkan teks kontrak perjanjian yang menghasilkan riba.


4. Saksi Riba
Adalah siapa saja yang secara sadar terlibat dan menjadi saksi dalam suatu transaksi atau perjanjian yang menghasilkan riba. Termasuk di dalamnya mereka yang menjadi pengawas (supervisor).
Sedangkan status pegawai bank yang lain, instansi-instansi serta semua lembaga yang berhubungan dengan riba, harus diteliti terlebih dahulu tentang aktivitas pekerjaan atau deskripsi kerja dari status pegawai bank tersebut. Apabila pekerjaan yang dikontrakkan adalah bagian dari pekerjaan riba, baik pekerjaan itu sendiri yang menghasilkan riba ataupun yang menghasilkan riba dengan disertai aktivitas lain, maka seorang muslim haram untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, semisal menjadi direktur, akuntan, teller dan supervisornya, termasuk juga setiap pekerjaan yang menghasilkan jasa yang berhubungan dengan riba, baik yang berhubungan secara langsung maupun tidak. Sedangkan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan riba, baik secara langsung maupun tidak, seperti juru kunci, penjaga (satpam), pekerja IT (Information Technology/Teknologi Informasi), tukang sapu dan sebagainya, maka diperbolehkan, karena transaksi kerja tersebut merupakan transaksi untuk mengontrak jasa dari pekerjaan yang halal (mubah). Juga karena pekerjaan tersebut tidak bisa disamakan dengan pekerjaan seorang pemberi, pencatat dan saksi riba, yang memang jenis pekerjaannya diharamkan dengan nash yang jelas (sharih).
Yang dinilai sama dengan pegawai bank adalah pegawai pemerintahan yang mengurusi kegiatan-kegiatan riba, seperti para pegawai yang bertugas menyerahkan pinjaman kepada petani dengan riba, para pegawai keuangan yang melakukan pekerjaan riba, termasuk para pegawai panti asuhan yang pekerjaannya adalah meminjam harta dengan riba, maka semuanya termasuk pegawai-pegawai yang diharamkan, dimana orang yang terlibat dianggap berdosa besar, karena mereka bisa disamakan dengan pencatat riba ataupun saksinya. Jadi, tiap pekerjaan yang telah diharamkan oleh Allah SWT, maka seorang muslim diharamkan sebagai ajiir di dalamnya.
Semua pegawai dari bank atau lembaga keuangan serta pemerintahan tersebut, apabila pekerjaannya termasuk dalam katagori mubah menurut syara’ untuk mereka lakukan, maka mereka boleh menjadi pegawai di dalamnya. Apabila pekerjaan tersebut termasuk pekerjaan yang menurut syara’ tidak mubah untuk dilakukan sendiri, maka dia juga tidak diperbolehkan untuk menjadi pegawai di dalamnya. Sebab, dia tidak diperbolehkan untuk menjadi ajiir di dalamnya. Maka, pekerjaan-pekerjaan yang haram dilakukan, hukumnya juga haram untuk dikontrakkan ataupun menjadi pihak yang dikontrak (ajiir).

Selain itu juga Allah SWT mengharamkan kita untuk melakukan kerjasama atau tolong-menolong dalam perbuatan dosa.


وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. al-Maidah: 02)
Wallahu’alam

Hukum Menjadi Pegawai Bank Dalam Pandangan Islam

Posted by : Unknown
Date :Selasa, 12 November 2013
With 0komentar

Halal Haramnya Musik Dalam Deretan Dalil-dalil Syar'i

| Sabtu, 12 Oktober 2013
Baca selengkapnya »
Ketika para ulama berbeda pendapat tentang hukum halal dan haramnya musik, tergelitik bagi kita untuk meneliti latar belakang dan sebab perbedaan pendapat di antara mereka.

Ternyata titik pangkal masalahnya memang ada begitu banyak dalil yang saling berbeda bahkan bertentangan, antara yang disimpulkan sebagai dalil yang menghalalkan musik di satu sisi, dengan dalil yang mengharamkannya.

Dan ternyata kita menemukan cukup banyak dalil baik di dalam Al-Quran maupun di dalam As-Sunnah, baik yang mengharamkan maupun menghalalkannya.

A. Dalil Yang Mengharamkan

1. Al-Quran

Tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang secara tegas menyebut kata musik, alat musik atau lagu dan nyanyian. Sehingga dalil-dalil terkait dengan musik dan lagu di dalam Al-Quran umumnya bersifat penafsiran atas istilah-istilah yang punya makna banyak. Di antara istilah-istilah yang sering ditafsirkan para ulama sebagai musik dan lagu adalah :

a. Surat Luqman : Lahwal Hadits

Di antara dalil haramnya nyanyian dan musik di dalam Al-Quran adalah ayat yang menyebutkan tentang menyesatkan manusia dengan cara membeli apa yang disebut dengan lahwal-hadits (لهو الحديث). Ayat ini terdapat di dalam surat Luqman, yang oleh beberapa ulama disimpulkan sebagai ayat yang mengharamkan nyanyian dan lagu.

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

Para ulama yang menyebutkan bahwa makna nya lahwal-hadits (لهو الحديث) diantaranya adalah Abudullah bin Mas’ud, Abdullah bin Al-Abbas, Jabir bin Abdillah, ridwanullahi ‘alaihim ajma’in.

Demikian juga dengan pendapat Mujahid dan Ikrimah, mereka menafsirkan lahwal-hadits sebagai lagu atau nyanyian. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa ayat ini turun terkait dengan lagu dan nyanyian.

b. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)

Menurut pendukung haramnya nyanyian dan musik, Allah SWT telah mengharamkan nyanyian dan musik lewat ayat ini. Logika yang digunakan adalah bahwa kalau sekedar bersiul dan bertepuk tangan saja sudah haram, apalagi bernyanyi dan bermusik. Tentu hukumnya jauh lebih haram lagi.

c. Surat Al-Isra’ : Suara

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ

Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)

Yang menjadi titik perhatian dalam ayat ini adalah kata bi shautika (بصوتك). Dalam pendapat mereka, ayat ini termasuk ayat yang mengharamkan nyanyian dan musik; lewat tafsir dan pendapat dari Mujahid.

Beliau memaknainya dengan : bi-llahwi wal ghina (باللهو والغناء). Al-Lahwi sering diartikan dengan hal-hal yang sia-sia, sedangkan al-ghina’ adalah nyanyian dan lagu.

d. Surat Al-Furqan : Az-Zuur

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)

Menurut mereka, kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama. Maka mendengarkan nyanyian dan lagu hukumnya haram menurut penafsiran ayat ini.

e. Surat Al-Qashash : Laghwi

Sebagian ulama mengharamkan musik karena dianggap sebagai bentuk laghwi atau kesia-siaan, dan menurut mereka hal itu dilarang di dalam Al-Quran Al-Kariem.

وَ إِذَا سَمِعوُاُ اللَغُوَ أَعُرَضواُ عَنُه وَقَالواُ لَنا أَعُمَالنَا وَلَكمُ أَعُمَالَكمُ سَلَم عَلَيُكمُ لَا نَبُتَغِي الُجَاهِلِيُنَ

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil". (QS. Al-Qashash : 55)

f. Surat An-Najm : Samidun

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)

Yang menjadi titik utama dari ayat ini adalah kata samidun (سامدون), dimana Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.

2. Hadits

Sedangkan penyebutan alat-alat musik dan nyanyian akan lebih jelas ketika kita membuka hadits-hadits nabawi. Ada begitu banyak hadits yang terkait dengan musik dan nyanyian, di antaranya adalah :

a. Hadits Pertama : Musik Penyebab Turunnya Bencana

إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَلَّ بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di antaranya adalah budak wanita penyanyi dan alat-alat musik”. (HR. Tirmizy).

Hadits ini memasukkan musik sebagai salah satu dari lima belas penyebab turunnya bencana dari Allah SWT. Maka menurut yang mengharamkan musik, hukum bermusik itu haram karena akan menurunkan bencana dari Allah SWT.

b. Hadits Kedua : Tugas Nabi Menghancukan Alat Musik

إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ

Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)

Menurut pendapat yang mengharamkan musik, salah satu sebab kenapa musik itu diharamkan adalah karena salah satu tugas Rasulullah SAW adalah untuk menghancurkan alat-alat musik.

c. Hadits Ketiga : Akan Ada Yang Menghalalkan Musik

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)

Hadits ini boleh jadi termasuk hadits yang paling selamat dari kelemahan isnad, karena hadits ini terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari. Sehingga kalau ada yang masih meragukan kekuatan isnadnya, tentu yang meragukan itulah yang bermasalah.

Mengingat Ibnu Shalah menyebutkan bahwa seluruh umat Islam telah mencapai ijma’ bahwa kitab tershahih kedua setelah Al-Quran Al-Karim adalah kitab Shahih Bukhari.

Dan dari segi istidlal, hadits ini juga tegas menyebutkan bahwa ada orang yang akan menghalalkan alat benda-benda yang haram, dana salah satunya adalah al-ma’azif, yaitu alat musik.

d. Hadits Keempat : Musik Adalah Suara Yang Dilaknat

Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadits berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.

صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَ رَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ

Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar)

e. Hadits Kelima : Allah Mengharamkan Musik

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)

إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ

Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)

f. Hadits Keenam : Rasulullah SAW Menutup Telinga

Mereka yang mengharamkan alat musik berdalil bahwa ketika mendengar suara seruling gembala, Rasulullah SAW menutup telinganya. Hal itu menandakan bahwa musik itu hukumnya haram.

عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا

‘Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

g. Hadits Ketujuh : Batilnya Semua Yang Sia-sia

Selain itu mereka yang mengahramkan musik berdalil dengan hadits di bawah ini, yaitu hadits yang mengharamkan semua yang sia-sia.

كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ

Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan kuda dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)

h. Hadits Kedelapan : Haramnya Lonceng

Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Dan memang ada beberapa hadits yang secara tegas mengharamkan lonceng, di antaranya :

الجَرَسُ مَزَامِيْرِ الشَّيْطَانِ

Lonceng itu adalah serulingnya setan (HR. Muslim)

لاَ تَدْخُلُ المَلآئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ جُلْجُلْ وَلاَ جَرَسٌ لاَ تَصْحَبُ المَلآئِكَةُ رُفْقَةً فِيْهَا كَلْبٌ أَوْ جَرَسٌ

Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat jul-jul dan lonceng. Dan malaikat tidak akan menemani orang-orang yang di rumah mereka ada anjing dan lonceng. (HR. Muslim)

أَنَّ رَسُولَ اللهِ أَمَرَ باِلأَجْرَاسِ أَنْ تُقْطَعَ مِنْ أَعْنَاقِ الإِبِلِ يَوْمَ بَدْرٍ

Bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar untuk memotong lonceng dari leher unta pada hari Badar. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

B. Dalil Yang Menghalalkan Musik dan Lagu

Para ulama yang tidak mengharamkan nyanyian dan musik juga punya hujjah yang tidak bisa dianggap enteng. Hujjah mereka justru dengan cara mengkritisi dalil-dalil yang digunakan oleh pihak yang mengharamkan. Dimana pada intinya mereka menyatakan bahwa semua dalil yang dipakai, meski jumlahnya banyak, tapi tak satu pun yang tepat sasaran.

1. Jawaban Atas Dalil Quran

Lima ayat yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik adalah ayat yang sama sekali tidak menyinggung sedikit pun tentang nyanyian dan musik itu sendiri.

Kalau pun dipaksakan untuk ditafsirkan menjadi nyanyian dan lagu, sifatnya semata-mata hanya penafsiran yang subjektif dan dilakukan oleh hanya beberapa gelintir ulama ahli tafsir saja. Sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa tafsiran itu mewakili pendapat seluruh mufassirin.

Jadi paling jauh, kita hanya bisa mengatakan bahwa sebagian ulama memang mengharamkan nyanyian dan lagu lewat ayat-ayat tersebut, namun sifatnya tidak mutlak, lebih merupakan pendapat subjektif dari beberapa orang di antara ulama.

a. Surat Luqman : Lahwal Hadits

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

Istilah lahwal-hadits (لهو الحديث) di dalam surat Luqman, memang cukup sering ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai nyanyian dan lagu. Namun para ulama yang tidak berpendapat seperti itu jumlahnya jauh lebih banyak lagi.

Misalnya Adh-Dhahhak, beliau menafsirkannya isitlah ini sebagai syirik, dan bukan nyanyian dan musik. Sedangkan Al-Hasan mengatakan bahwa maknanya adalah syirik dan kufur.

Ibnu Hazm menolak pengharaman musik bila menggunakan ayat ini, dengan beberapa alasan, antara lain :

Pertama, penafsiran versi Mujahid tidak bisa diterima, karena yang berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Rasulullah SAW. Dan beliau SAW tidak menjelaskan seperti yang ditafsirkan oleh Mujahid.

Kedua, penafsiran Mujahid ini sifatnya sepihak saja, tidak mewakili penafsiran kebanyakan ulama. Sementara ada begitu banyak shahabat dan tabi’in yang menghalalkan musik.

Ketiga, kalau ditafsirkan bahwa yang dimaksud lahwa-hadits itu hanya terbatas alat musik, maka penafsiran ini batil. Sebab bisa saja orang membeli benda yang lain lalu digunakan untuk menyesatkan orang dijadikan permainan.

Katakanlah misalnya ada orang membeli mushaf Al-Quran, lalu dijadikan alat untuk menyesatkan orang dan permainan. Lantas apakah haram hukumnya membeli mushaf Al-Quran hanya karena ada orang tertentu yang menjadikannya sebagai penyesat dan permainan?

Jawabnya tentu tidak. Kalau mau mengharamkan, seharusnya yang diharamkan adalah ketika menjadikan suatu benda sebagai alat untuk menyesatkan manusia dan permainan, bukan mengharamkan benda tersebut.

a. Surat Al-Anfal : Siulan dan Tepukan

Ketika berhujjah dengan ayat tentang tentang orang-orang kafir di zaman jahiliyah beribadah dengan cara bertepuk dan bersiul, sehingga hasil kesimpulannya bahwa nyanyian dan musik itu menjadi haram, maka metode pengambilan kesimpulan hukumnya terlihat lemah sekali.

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)

Ayat ini tidak secara langsung menyebutkan tentang musik dan lagu. Ayat ini hanya bercerita tentang bagaimana orang-orang di masa jahiliyah melakukan ibadah dengan cara bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan.

Kemudian oleh kalangan yang ingin mengharamkan lagu dan musik, perbuatan orang-orang jahiliyah di masa lalu yang diceritakan di ayat ini kemudian dikaitkan dengan keharaman bernyanyi dan bermusik.

Padahal yang diharamkan adalah menyembah Allah dengan cara bersiul dan bertepuk tangan, yang mana hal itu merupaan perbuatan orang-orang kafir di masa jahiliyah.

Adapun bersiul dan bertepuk tangan di luar konteks ibadah kepada Allah, sama sekali tidak terkait dengan hukum halal dan haram. Artinya, tidak ada keharaman dari bertepuk dan bersiul, asalkan tidak ada berkaitan dengan ibadah. Misalnya adat dan budaya serta gestur yang ada di suatu masyarakat dalam berkomunikasi dengan sesama, tentu tidak bisa diharamkan begitu saja.

Di suatu peradaban tertentu, rasa kagum atas suatu hal biasa diungkapkan dengan cara bersiul. Atau rasa hormat dan bahagia biasa diungkapkan dengan bahasa tubuh yaitu bertepuk tangan spontan. Bahasa tubuh seperti itu tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan sebuah peribadatan di peradaban yang lain.

Kalau bersiul dan bertepuk tidak selalu menjadi haram, apalagi bernyanyi dan bermusik, yang sama sekali tidak ada hubungannya. Maka kita tidak tepat rasanya mengharamkan nyanyian dan musik dengan menggunakan ayat ini.

b. Surat Al-Isra’ : Suara

Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik juga menggunakan ayat berikut sebagai dasar untuk mengharamkannya.

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ

Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)

Mereka mengatakan bahwa salah seorang ahli tafsir, yaitu Mujahid telah memaknainya kalimat bi shautika (بصوتك) sebagai al-ghina (الغناء), yaitu nyanyian dan lagu. Sehingga ayat ini dianggap ayat yang mengharamkannya.

Padahal pendapat itu hanya pendapat satu orang saja, yaitu Mujahid. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kita pun tidak harus selalu terpaku kepada pendapatnya. Sebab masih banyak ulama ahli tafsir yang tidak berpendapat demikian. Misalnya dengan penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa maknanya adalah segala ajakan yang mengajak ke arah maksiat kepada Allah.

Nampaknya Departemen Agama RI lebih menggunakan Tafsir Ibnu Abbas dari pada pendapat Mujahid. Sebab kalau kita baca terjemahan ayat ini dalam versi Departemen Agama RI, kata itu diterjemahkan menjadi : ‘dengan ajakanmu’, sama sekali tidak terkait dengan urusan nyanyian dan musik.

c. Surat Al-Furqan : Az-Zuur

Mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik juga seringkali menggunakan ayat berikut ini sebagai dasar pengharaman.

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)

Mereka berlindung di balik pendapat Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah : tidak mendengarkan nyanyian atau lagu. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama.

Padahal nyaris kebanyakan pendapat para ulama ahli tafsir tidak sampai ke arah haramnya nyanyian dan lagu, karena terlalu jauh penyimpangan maknanya.

Ayat ini menceritakan tentang ciri-ciri orang yang disebut sebagai ibadurrahman atau hamba-hamba Allah yang beriman, dimana salah satu cirinya adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu.

Kalau pun ada ulama yang menafsirkan maknanya, tidak selalu berupa haramnya nyanyian dan musik. Misalnya penafsrian Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa la yasyhaduna az-zuur adalah tidak melakukan syirik atau menyembah berhala.

Titik pangkalnya adalah pada kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), yang di dalam terjemahan versi Departemen Agama RI diartikan dengan : memberi kesaksian palsu, sebagaimana zhahirnya lafadz ayat ini.

d. Surat Al-Qashash : Laghwi

Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik berdalih bahwa keduanya merupakan perbuatan sia-sia atau laghwi, sehingga hukumnya haram. Namun kalangan yang menghalalkannya menjawab bahwa tidak semua perbuatan laghwi dilarang di dalam syariat Islam. Bahkan Al-Quran sendiri menyebutkan ada jenis laghwi yang tidak mendatangkan dosa.

Salah satunya adalah orang yang berlaghwi ketika mengucapkan sumpah, dimana Allah SWT tidak mempermasalahkannya, sebagaimana tersebut pada ayat berikut :

لاَ يُؤَخِذُكُمُ اللَهُ بِالَلغُو ِفِي أَيُمَانَكمُ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah : 225)

f. Surat An-Najm : Samidun

Ayat lainnya yang juga sering ditafsirkan sebagai musik atau lagu adalah potongan ayat di dalam surat An-Najm.

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)

Yang menjadi titik perhatian adalah kata samidun (سامدون). Dalam terjemahan yang kita baca dalam versi Departemen Agama, kata itu berarti orang yang lengah.

Namun beberapa ahli tafsir mengaitkannya dengan lagu dan nyanyian. Misalnya Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.

Sedangkan Adh-Dhahhak menafsirkan as-samud (السمود) sebagai al-lahwu wa al-la’bu (اللهو و اللعب), yang artinya pekerjaan yang sia-sia dan permainan.

Maka ayat ini menurut mereka menyebutkan sifat-sifat buruk yang dilakukan, yaitu ketika dibaca ayat-ayat Al-Quran, mereka malah bernyanyi-nyanyi.

2. Jawaban Atas Dalil Hadits

Kalau dihitung-hitung, hadits-hadits yang sering dijadikan alasan untuk mengharamkan nyanyian dan musik memang cukup banyak. Namun masalahnya sebagian dari hadits itu bermasalah, baik dari segi isnad maupun dari segi istidlal.

Abu Bakar Ibnul Arabi di dalam kitab Al-Ahkam menyebutkan dengan tegas bahwa tidak ada satu pun hadits yang shahih di antara hadits-hadits yang sering dijadikan dasar untuk mengharamkan musik.

Senada dengan di atas, Ibnu Thahir di dalam kitabnya As-Sima’, juga mengatakan tidak ada satu huruf pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengharamkan musik.

Ibnu Hazm di dalam kitab Al-Muhalla menyebutkan : tidak ada satu pun hadits shahih dalam bab tentang haramnya musik ini. Semuanya hadits maudhu’.

Mari kita bahas satu persatu hadits-hadits yang banyak digunakan oleh merekayang mengharamkan nyanyian dan musik.

a. Hadits Pertama : Sharih Tapi Tidak Shahih

Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits berikut ini sebagai dalil.

إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَل بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di antaranya adalah umatku memakai alat-alat musik”. (HR. Tirmizy)

Namun yang jadi masalah adalah meski matan hadits ini dari segi istidlal termasuk sangat jelas dan tegas menyebut nama alat musik, sehingga tidak bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang lain, bahkan acamannya juga jelas, yaitu bala’, tetapi sayangnya para ulama umumnya memvonis hadits ini lemah. Bahkan perawinya sendiri, yaitu Al-Imam At-Tirmizy, jelas-jelas menyebutkan dalam Sunan At-Tirmiziy, bahwa tersebut tidak shahih.

Maka bagi mereka yang menghalalkan nyanyian dan musik, hadits ini tidak bisa dijadikan landasan untuk mengharamkannya. Karena hukum halal haram tidak boleh dilandasi dengan hadits yang status hukumnya lemah.

b. Hadits Kedua : Sharih Tapi Tidak Shahih

إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ

Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)

Hadits ini juga tegas sekali menyebutkan tentang salah satu tugas Rasulullah SAW, yaitu menghancurkan seruling dan alat-alat musik. Kalau seandainya hadits ini shahih, pastilah para ulama tidak pernah berbeda pendapat tentang kewajiban menghancurkan alat-alat musik. Atau setidak-tidaknya, mengharamkan alat musik secara aklamasi.

Masalahnya justru karena hadits kedua ini juga didhaifkan oleh banyak ulama, di antaranya Al-Haitsami menyebutkan bahwa dalam rangkaian para perawinya ada seorang perawi yang dhaif bernama Ali bin Yazid.

Maka wajar kalau sebagian ulama ada yang mengharamkan alat-alat musik, namun sebagian lagi tidak memandang keharaman alat-alat musik, lantaran dalil yang digunakan untuk mengharamkannya justru bermasalah, karena merupakan hadits dhaif.

Dan hadits dhaif memang boleh digunakan untuk meningkatkan semangat dalam mendapatkan keutamaan, tetapi seluruh ulama sepakat menolak hadits dhaif untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

c. Hadits Ketiga : Shahih Tapi Tidak Sharih

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan kemaluan, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang haramnya nyanyian dan musik ini, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy’ari. Hadits ini walaupun terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi para ulama memperselisihkannya.

Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits mu’alaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. Mengapa demikian?

Ternyata hadits ini termasuk dalam kategori mu’allaqat (معلقات), meski pun Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berijtihad bahwa hadits ini tersambung lewat sembilan jalur periwayatan. Namun semua jalur itu melewati satu orang perawi yang banyak diperdebatkan oleh para ulama, yaitu perawi bernama Hisyam bin Ammar.

Di antara perdebatan mereka antara lain apa yang dikomentari Abu Daud tentang Hisyam, yaitu sebagai orang yang meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada asalnya. Abu Hatim menyebutnya sebagai pernah berstatus shaduq tapi kemudian sudah berubah.

An-Nasa’i menyebutnya sebagai : la ba’sa bihi. Sebutan ini tidak menghasilkan mutlak kepercayaan. Sedangkan mereka yang tidak mempermasalahkan Hisyam, bersikeras menyebut bahwa Bukhari tidak mencacatnya.

Selain itu Hisyam ini adalah khatib di Damaskus, juga ahli Al-Quran serta juga ahli hadits negeri itu. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab).

Katakanlah, bahwa hadits ini shahih, karena terdapat dalam hadits Shahih Bukhari, tetapi nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya.

Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan. Kalau pun periwayatan hadits ini diterima, apa-apa yang disebutkan itu tidak semuanya haram secara mutlak. Misalnya sutera yang hanya diharamkan buat laki-laki, sedangkan perempuan dibolehkan memakainya. Hadits ini juga tidak menyebutkan zina dengan istilah zina, melainkan dengan istilah hira (الحِرَ).

Makna aslinya adalah kemaluan atau farji. Namun kemudian mengalami pergeseran makna menjadi zina. Maka kalau kita gunakan makna aslinya, yaitu menghalalkan kemaluan, hukumnya tidak mutlak salah. Sebab menghalalkan kemaluan bisa dengan cara yang benar, seperti lewat pernikahan atau menyetubuhi budak. Maka ketika Nabi SAW menyebut alat musik, sifatnya tidak mutlak haram, tetapi maksudnya bila alat-alat musik itu membawa madharat yang memang dilarang. Maka barulah hukumnya haram.

d. Hadits Keempat :

Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadits berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.

صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ

Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar)

e. Hadits Kelima :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)

إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ

Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)

f. Hadits Keenam : Menutup Telinga Bukan Berarti Haram

عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا - رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه ‘

Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadits ini punya dua kelemahan sekaligus, yaitu dari segi isnad dan istidlal. Dari segi sanad, hadits ini divonis sebagai hadits munkar oleh Abu Daud. Meski pun ada juga yang menentangnya. Namun kalau pun hadits ini diterima dari segi isnad, masih juga bermasalah dari segi istidlal.

Mengapa?

Karena hadits ini sama sekali tidak menyebutkan halal atau haramnya mendengar suara musik secara eksplisit. Hadits ini memang dari segi istidlah bisa ditafsirkan menjadi dasar keharaman mendengar suara musik. Namun kesimpulan itu belum tentu tepat sasaran. Karena ada beberapa kejanggalan dalam detailnya, seperti :

Pertama, seandainya hukum mendengar suara musik itu memang benar-benar haram, seharusnya Ibnu Umar tidak pergi dan berlalu dari penggembala. Seharusnya beliau melarang si penggembala meniup seruling. Sebagai ahli fiqih di zamannya, tidak boleh hukumnya buat beliau mendiamkan kemungkaran, dan hanya sekedar menghindar. Tapi yang beliau lakukan hanya menghindar saja, tidak melarang. Berarti kalau peristiwa disimpulkan sebagai haramnya musik adalah kesimpulan yang kurang tepat.

Kedua, seandainya hukum mendengar musik itu memang benar-benar haram secara mutlak, maka seharusnya Ibnu Umar tidak hanya menutup telinganya sendirian. Seharusnya beliau juga memerintahkan pembantunya, Nafi’, untuk ikut juga menutup telinga, seperti yang beliau lakukan dan sebagaimana yang konon dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Tetapi kenyataannya, Ibnu Umar sama sekali tidak memerintahkan Nafi’ untuk menutup telinga. Malah beliau bertanya apakah Nafi’ masih mendengarnya. Maka karena tidak ada kejelasan pasti tentang mendengar musik haram apa tidak di hadits ini, bisa saja kita berasumsi bahwa ketika Rasulullah SAW menutup telinganya, bukan karena haramnya, melainkan karena sebab-sebab yang lain.

Sebab-sebab yang lain itu misalnya karena momentumnya tidak tepat. Mengingat di waktu-waktu tertentu, Rasulullah SAW justru membolehkan nyanyian dan musik diperdengarkan dan dimainkan, misalnya ketika Hari Raya, pernikahan atau ketika dalam peperangan.

Atau boleh jadi si penggembala kurang pandai memainkan alat musiknya sehingga terkesan memekakkan telinga, fals dan sumbang. Sehingga beliau SAW menutup telinganya sambil meninggalkannya.

Padahal kalau seandainya meniup seruling itu haram, seharusnya Rasulullah SAW bukan menutup telinga, tetapi beliau menegur penggembala itu secara langsung. Mustahil buat seorang Nabi mendiamkan kemungkaran di depan mata. Karena hal itu berarti tidak amanah dalam menjalankan tugas-tugas kenabian.

g. Hadits Ketujuh Batilnya Semua Yang Sia-sia

Sebagian kalangan yang ingin mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits tentang semua perbuatan sia-sia hukumnya batil, kecuali memanah, melatih kuda dan bercumbu dengan istri.

كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ

Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali : melempar panah, melatihkan kuda dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)

Kelemahan hadits ini ada dua, yaitu dari segi keshahihannya dan dari istidlalnya. Dari segi sanad, Al-Hafidz Al-‘Iraqi menyebutkan bahwa ada idhthirab di dalam hadits ini.

Sedangkan kelemahan dari segi istidlal bahwa hadits ini sama sekali tidak menyebut nyanyian dan musik sebagai sesuatu yang batil. Sedangkan kalau dikatakan bahwa nyanyian dan musik itu termasuk batil karena umumnya hadits ini, yang tidak batil hanya ada tiga perbuatan saja, maka akan ada begitu banyak perbuatan yang batil di sekeliling kita.

Logika seperti ini ibarat ingin membunuh lalat dengan menggunakan meriam. Lalatnya belum tentu mati, tetapi korban yang lain sudah pasti.

Hadits Kedelapan :

Haramnya Lonceng Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Namun suara lonceng itu tidak selalu mutlak haram. Buktinya, kadang-kadang yang justru didengar oleh Rasulullah ketika menerima wahyu adalah suara lonceng

Halal Haramnya Musik Dalam Deretan Dalil-dalil Syar'i

Posted by : Unknown
Date :Sabtu, 12 Oktober 2013
With 0komentar

Hukum Mengucapkan Selamat Ulang Tahun

| Jumat, 27 September 2013
Baca selengkapnya »


Hukum Mengucapkan Selamat Ulang Tahun
Tanya:
assalamualaikum.
afwan bariq, ana mnt tolong dijelaskan tentang hukum mengucapkan “selamat ulang tahun” pd hari kelahiran, serta memberikan ucapan “selamat(met milad” kepada orang lain yang pada saat itu sedang ulang tahun. Karena setau ana merayakan ulang tahun itu haram, lantas bagaimana dengan mengucapkannya?
barokallohufiykum
abdillah [gonnabefine@rocketmail.com]
Masalah yang hampir sama juga ditanyakan oleh saudara muhammad [yogmatafalas@rocketmail.com]
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah.
Ulang tahun termasuk di antara hari-hari raya jahiliah dan tidak pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tatkala penentuan hari raya adalah tauqifiah (terbatas pada dalil yang ada), maka menentukan suatu hari sebagai hari raya tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah dalam agama dan berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ, وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr (idul Adh-ha) dan hari Fithr (idul Fithri)”. (HR. An-Nasa`i (3/179/5918) dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4460)
Maka hadits ini menegaskan bahwa hari raya tahunan yang diakui dalam Islam hanyalah hari raya idul fithri dan idul adh-ha.
Kemudian, perayaan ulang tahun ini merupakan hari raya yang dimunculkan oleh orang-orang kafir. Sementara Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”. (HR. Abu Daud no. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676) dan Al-Irwa` no. 2384)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata, “Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir), walaupun zhahir hadits menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka”. Lihat Al-Iqtidha` hal. 83
Dan pada hal. 84, beliau berkata, “Dengan hadits inilah, kebanyakan ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non muslim”.
Karenanya tidak boleh seorang muslim mengucapkan selamat kepada siapapun yang merayakan hari raya yang bukan berasal dari agama Islam (seperti ultah, natalan, waisak, dan semacamnya), karena mengucapkan selamat menunjukkan keridhaan dan persetujuan dia terhadap hari raya jahiliah tersebut. Dan ini bertentangan dengan syariat nahi mungkar, dimana seorang muslim wajib membenci kemaksiatan. Wallahu a’lam

Hukum Mengucapkan Selamat Ulang Tahun

Posted by : Unknown
Date :Jumat, 27 September 2013
With 0komentar

Hukum Jabat Tangan dengan Wanita Non Mahram

| Jumat, 13 September 2013
Baca selengkapnya »

Wanita selalu menggoda, namun kadang pula godaan juga karena si pria yang nakal. Islam selalu sendiri mengajarkan agar tidak terjadi kerusakan dalam hubungan antara pria dan wanita. Oleh karenanya, Islam memprotek atau melindungi dari perbuatan yang tidak diinginkan yaitu zina. Karenanya, Islam mengajarkan berbagai aturan ketika pria-wanita berinteraksi. Di antara adabnya adalah berjabat tangan dengan wanita non mahram.


Pendapat Ulama Madzhab Tentang Berjabat Tangan dengan Non Mahram

Mengenai hukum bersalaman atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, hal ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Ada di antara mereka yang membedakan antara berjabat tangan dengan wanita tua dan wanita lainnya.
Bersalaman dengan wanita tua yang laki-laki tidak memiliki syahwat lagi dengannya, begitu pula  laki-laki tua dengan wanita muda, atau sesama wanita tua dan laki-laki tua, itu dibolehkan oleh ulama Hanafiyah dan Hambali dengan syarat selama aman dari syahwat antara satu dan lainnya. Karena keharaman bersalaman yang mereka anggap adalah khawatir terjerumus dalam fitnah. Jika keduanya bersalaman tidak dengan syahwat, maka fitnah tidak akan muncul atau jarang.
Ulama Malikiyyah mengharamkan berjabat tangan dengan wanita non mahram meskipun sudah tua yang laki-laki tidak akan tertarik lagi padanya. Mereka berdalil dengan dalil keumuman dalil yang menyatakan haramnya.
Sedangkan ulama Syafi’iyyah berpendapat haramnya bersentuhan dengan wanita non mahram, termasuk pula yang sudah tua. Syafi’iyah tidak membedakan antara wanita tua dan gadis.
Sedangkan berjabat tangan antara laki-laki dengan gadis yang bukan mahramnya, dihukumi haram oleh ulama madzhab yaitu Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hambali dalam pendapat yang terpilih, juga oleh Ibnu Taimiyah. Ulama Hanafiyah lebih mengkhususkan pada gadis yang membuat pria tertarik. Ulama Hambali berpendapat tetap haram berjabat tangan dengan gadis yang non mahram baik dengan pembatas (seperti kain) atau lebih-lebih lagi jika tidak ada kain. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 37: 358-360)

Dalil yang Jadi Pegangan

Pertama, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa ‘Aisyah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata,
عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَتِ الْمُؤْمِنَاتُ إِذَا هَاجَرْنَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُمْتَحَنَّ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (يَا أَيُّهَا النَّبِىُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لاَ يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ يَسْرِقْنَ وَلاَ يَزْنِينَ) إِلَى آخِرِ الآيَةِ. قَالَتْ عَائِشَةُ فَمَنْ أَقَرَّ بِهَذَا مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ فَقَدْ أَقَرَّ بِالْمِحْنَةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَقْرَرْنَ بِذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِنَّ قَالَ لَهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « انْطَلِقْنَ فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ ». وَلاَ وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ. غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ – قَالَتْ عَائِشَةُ – وَاللَّهِ مَا أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى النِّسَاءِ قَطُّ إِلاَّ بِمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَمَا مَسَّتْ كَفُّ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَفَّ امْرَأَةٍ قَطُّ وَكَانَ يَقُولُ لَهُنَّ إِذَا أَخَذَ عَلَيْهِنَّ « قَدْ بَايَعْتُكُنَّ ». كَلاَمًا.
“Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al Mumtahanah: 12). ‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”. Namun -demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. ‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka.  Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).
Kedua, hadits Ma’qil bin Yasar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini sudah menunjukkan kerasnya ancaman perbuatan tersebut, walau hadits tersebut dipermasalahkan keshahihannya oleh ulama lainnya. Yang diancam dalam hadits di atas adalah menyentuh wanita. Sedangkan bersalaman atau berjabat tangan sudah termasuk dalam perbuatan menyentuh.
Ketiga,dalil qiyas (analogi).
Melihat wanita yang bukan mahram secara sengaja dan tidak ada sebab yang syar’i dihukumi haram berdasarkan kesepakatan para ulama. Karena banyak hadits yang shahih yang menerangkan hal ini. Jika melihat saja terlarang karena dapat menimbulkan godaan syahwat. Apalagi menyentuh dan bersamalan, tentu godaannya lebih dahsyat daripada pengaruh dari pandangan mata. Berbeda halnya jika ada sebab yang mendorong hal ini seperti ingin menikahi seorang wnaita, lalu ada tujuan untuk melihatnya, maka itu boleh. Kebolehan ini dalam keadaan darurat dan sekadarnya saja.
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
كل من حرم النظر إليه حرم مسه وقد يحل النظر مع تحريم المس فانه يحل النظر إلى الاجنبية في البيع والشراء والاخذ والعطاء ونحوها ولا يجوز مسها في شئ من ذلك
“Setiap yang diharamkan untuk dipandang, maka haram untuk disentuh. Namun ada kondisi yang membolehkan seseorang memandang –tetapi tidak boleh menyentuh, yaitu ketika bertransaksi jual beli, ketika serah terima barang, dan semacam itu. Namun sekali lagi, tetap tidak boleh menyentuh dalam keadaan-keadaan tadi. ” (Al Majmu’: 4: 635)
Dalil yang menyatakan terlarangnya pandangan kepada wanita non mahram adalah dalil-dalil berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur: 30)
Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur: 31)
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat pertama di atas mengatakan, ”Ayat ini merupakan perintah Allah Ta’alakepada hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangan mereka dari hal-hal yang haram. Janganlah mereka melihat kecuali pada apa yang dihalalkan bagi mereka untuk dilihat (yaitu pada istri dan mahramnya). Hendaklah mereka juga menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Jika memang mereka tiba-tiba melihat sesuatu yang haram itu dengan tidak sengaja, maka hendaklah mereka memalingkan pandangannya dengan segera.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216)
Ketika menafsirkan ayat kedua di atas, Ibnu Katsir juga mengatakan,”Firman Allah (yang artinya) ‘katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka’ yaitu hendaklah mereka menundukkannya dari apa yang Allah haramkan dengan melihat kepada orang lain selain suaminya. Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang wanita melihat laki-laki lain (selain suami atau mahramnya, pen) baik dengan syahwat dan tanpa syahwat. … Sebagian ulama lainnya berpendapat tentang bolehnya melihat laki-laki lain dengan tanpa syahwat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 216-217)
Dari Jarir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 2159)

Khatimah

Dalil-dalil di atas tidak mengecualikan apakah yang disentuh adalah gadis ataukah wanita tua. Jadi, pendapat yang lebih tepat adalah haramnya menyentuh wanita yang non mahram, termasuk pula wanita tua. Realitanya yang kita saksikan, wanita tua pun ada yang diperkosa. Sedangkan untuk gadis, no way, tetap dinyatakan haram untuk menyentuh dan berjabat tangan dengannya.
Hal di atas menunjukkan bahwa wanita benar-benar dimuliakan dalam Islam sehingga tidak ada yang bisa macam-macam dan berbuat nakal. Karena itulah wanita, benar-benar dimuliakan dalam ajaran Islam. Wanita dalam Islam adalah ibarat ratu. Adakah yang berani nyelonong-nyelonong dan menjabat tangan seorang ratu –seperti Ratu Elizabeth-? Tentu saja tidak berani. Demikianlah mulianya wanita di dalam Islam.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad, hanya Allah yang memberi taufik untuk menjauhi yang haram.

@ KSU, Riyadh, KSA, 23 Rabi’ul Awwal 1433 H

Hukum Jabat Tangan dengan Wanita Non Mahram

Posted by : Unknown
Date :Jumat, 13 September 2013
With 0komentar

Jilbab Gaul (Jilbab tidak hanya dalam islam)..!!!!!

| Selasa, 20 Agustus 2013
Baca selengkapnya »

Sebelumnya, silahkan baca tulisan senior saya, yakni tulisan yang membahas tentang Jilbab. Fashion atau Agama?. Klik judul tersebut. Sudah? Kalau Anda sudah selesai membacanya, mari kita lanjutkan.


Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haramKetika pertama kali saya melihat trend baru memakai jilbabseperti pada gambar di samping. Saya merasa suka dengan styletersebut. Apa alasannya? Iya karena kelihatan keren saja. Lama-lama, semakin banyaklah yang menggunakan jilbab dengan cara seperti itu. Saya semakin sadar semenjak mulai melihatnya langsung di depan mata kaki saya. Serta melihat langsung kenalan saya mengenakan jilbab seperti itu. Kebetulan saya tidak tahu style apa namanya itu. Iseng-iseng khusus disini kita sebut saja namanya 'jilbab style gaul dan gaya modern' iya. Kita pakaikan tanda kutip, yang artinya konotasi.

Nah, karena sudah kebanyakan yang ikut-ikutan begitu, tiba-tiba ketika melihat perempuan yang mengenakan jilbab dengan style biasa, kok rasanya ada perasaan adem di hati saya gitu. Rasanya lebih senaaang sekali. Dan ntah kenapa juga mulai menjadi risih dengan 'jilbab style gaul dan gaya modern' yang tadi. Hm, sebelumnya saya ceritakan sedikit hal. Seumur hidup saya, saya lebih kerap menuruti intuisi saya daripada logika saya. Dan alhamdulillah, kebenaran dan kebaikan serta kepuasan yang didapat itu sekitar 90-an%. Bahkan bisa 99%. Modusnya 100%. Karena saya berpetuah Allah itu lebih sering berbicara lewat hati. Nah, kebetulan kerisihan saya dengan stylemodis itu iya karena intuisi saya.

Karena kerisihan tersebut, spontanlah saya melakukan research tentang jilbab itu. Saya teringat dengan sebuah blog yang sepertinya pernah membahas soal jilbab ini. Dan saya ingat-ingat, blog tersebut adalah blog Abu Fadh Negara Tauhid yang disitu ada satu artikel yang berjudul Jilbab/Cadar Menurut Ajaran Yahudi, Nasrani, Hindu, Buddha, Kejawen dan Jil (Full Pics). Disana saya baru betul-betul tahu, ternyata jilbab itu bukan hanya milik islam. Tepatnya kerudung, berbagai macam kaum dengan keyakinan yang berbeda-beda juga mengenakan kerudung. Hanya saja konsepnya berbeda, meskipun diantaranya ada yang mirip bahkan persis. Berikut beberapa diantaranya:
Kerudung Menurut Yahudi
Kerudung Menurut Ajaran Yahudi
Kerudung Menurut Ajaran Nasrani
Kerudung Menurut Ajaran Nasrani
Jilbab Menurut Ajaran Nasrani
Kerudung Menurut Ajaran Nasrani
Kerudung Menurut Ajaran Nasrani
Kerudung Menurut Ajaran Nasrani
Kerudung Menurut Ajaran Hindu
Kerudung Menurut Ajaran Hindu
Kerudung Menurut Ajaran Hindu
Kerudung Menurut Ajaran Hindu
Kerudung Menurut Ajaran Buddha
Kerudung Menurut Ajaran Buddha
Kerudung Menurut Ajaran Buddha
Kerudung Menurut Ajaran Buddha
Untuk penjelasannya, silahkan berkunjung ke blog beliau. Selain dari situ, saya juga menemukan gambar-gambar lainnya dari blognya mas Luthfy Al Razieb. Berikut gambar-gambar wanitaberkerudung dengan berbagai keyakinan lainnya:
Jain
Jain
Druze
Druze
Hindu
Hindu
Sabean
Sabean
Yahudi
Yahudi
Biarawati Buddha
Biarawati Buddha
Biarawati Orthodox Timur
Biarawati Orthodox Timur
Biarawati Katolik
Biarawati Katolik
Nah, saya sengaja meletakkan gambar sang Biarawati Katolik pada yang terakhir, karena menurut saya 'jilbab style gaul dan gaya modern' yang sekarang sedang trend itu berdasarkan konsep ini. Mirip! Cobalah perhatikan. Iya 'kan? Lagi, saya teringat dengan catatan Jilbab. Fashion atau Agama? tadi. Memang sejauh ini, saya hanya menganggap ini adalah sebuah opini. Belum tentu fakta. Karena saya belum menelitinya lebih lanjut. Tapi ada tapinya.
UPDATE - Saya sudah melakukan penelitian lebih lanjut. Ternyata penampilan seperti ini mutlak tidak boleh.Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haram
Tapi tetap saja, yang namanya konsep berjilbab itu 'kan semuanya tertutup kecuali wajah dan telapak tangan. Dan di hadist lain, ada tambahan meski tertutup, jangan ketat. Nah, ini dia tapinya. Tapi terkadang ada 'jilbab style gaul dan gaya modern' satu paket dengan buka-bukaan serta ketat-ketatan yang tidak memenuhi konsep itu. Iya seperti yang dibahas di catatan senior saya, fondasinya bukan agama. Tapi fashion. Berikut gambar-gambar yang saya dapat dari blog Abu Fadh Negara Tauhid di artikel lainnya:

Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haram
Sabda Nabi tentang 2 golongan dari penduduk Neraka yang belum pernah beliau lihat pada zamannya ternyata benar 2 golongan itu muncul pada zaman ini, yaitu :
1. Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia
2. Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggaklenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal baunya tercium dari perjalanan sekian dan sekian (Lihat Hadits Shohih Muslim No. 2128)
Hiii! Bayangkan itu. Padahal pada hakikatnya semua muslim dan muslimah bakal masuk syurga. Meski dia ada dosa, nanti dibersihin dulu di Neraka selama sekian waktu. Setelah bersih, baru dia masuk ke Syurga. Tetapi tidak untuk dua golongan ini. Yaitu, satu, pemimpin yang zhalim. Dua, wanita yang tidak beres mengurusi auratnya. Jangankan masuk Syurga, mencium baunya saja tidak. Parah bener! Parah! Parah! Parah! Mirip seperti orang kafir dong? Pantas saja katanya penghuni neraka itu lebih banyak perempuan.
Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haram
Hm, kalau mengingat saudara-saudara dan teman-teman serta kenalan saya, terus ngelihat gambar ini, rasanya saya mau nangis. Terutama yang di sudut kanan atas. Sedih dah. Betul!

Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haram


Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haram

Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haram
Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haram

Melihat satu gambar yang ada di atas ini, saya rasa tulisan Jilbab. Fashion atau Agama? senior saya sangat sangat ada benarnya juga. Ini penampilannya mirip dengan perempuan yang biasa ada di film Hollywood gitu.  Hanya saja, pakai jilbab dan kulitnya tidak diperlihatkan secara langsung.
Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haram

Suami mana yang suka kalau istrinya digodain pria Lain? Apalagi kalau istrinya itu sendiri yang minta digodain. Sakit hati dah sang suami. Sakit hati. Sakiit. Menurut saya begitu.

Oh iya, sehubungan dengan gambar di atas, ada juga artikel dari Ibunda Lafhy yang berjudulMerapikan Facebook. Artikel tersebut bisa jadi satu paket dengan artikel ini. Anda harus membacanya juga. Sudah? Bila Anda sudah membacanya, terutama soal foto yang menjulurkan lidah keluar, nah, memangnya yang menemukan pose tersebut siapa? Orang kafir bukan? Atau ahli maksiat? Wallahu a'lam. Ini bisa erat kaitannya juga dengan tulisan senior saya tadi. Kita dipengaruhi tanpa sadar. Kita terlalu suka mengikuti dan meniru sesuatu hanya karena populer dan tanpa tahu sesuatu itu baik atau tidak.

Padahal, iya kita itu harus tahu ilmunya dulu. Kalau tidak:
  • Ibarat ingin jadi pinter, tapi malah dateng ke orang idiot untuk minta diajarn jadi pinter, iya jadinya sesat.
  • Ibarat ingin jadi kaya, tapi malah dateng ke orang miskin untuk minta diajarin jadi kaya, iya jadinya sesat.
  • Ini, mau berjilbab, minta diajarin sama yang nggak ngerti agama. Iya jadinya sesat.
Coba, bagi yang laki-laki, apakah ada hasrat seks Anda naik sekian % ketika melihat lekukan tubuh perempuan seperti pada gambar di atas? Meski hasrat itu hanya 0,0000.... %, ada muncul nih! Karena itulah fitrahnya laki-laki. Apalagi yang mental penahan hasrat seksnya lemah dan malah sering dimanja.

Berarti perempuan yang melestarikan hal ini sama dengan perempuan yang melestarikan project, "Ayo Lestarikan Pemerkosaan!" Loh kok gitu? Iya jelas. Karena mendukung salah satu faktor terjadinya pergaulan bebas. Itulah yang namanya proyek penaikan hasrat laki-laki. Bagi Anda yang perempuan, Anda boleh mendatangi laki-laki yang paling jujur dan tanyakan tentang kenaikan hasrat hal ini padanya. (Untung saja kebetulan yang muhrim itu biasanya tidak berhasrat dengan muhrimnya)

Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haram

Bagi Anda yang masih membangkang, Anda boleh melihat kultwit ulasan Ustadz Felix yang direkomendasikan oleh hampir 600 orang maupun reseachnya Mbak Isna.

Jujur saja, bagaimana pun juga, saya tetap lebih bahagia ketika melihat perempuan dengan jilbab seperti hal biasanya.
Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haram cara memakai jilbab syar'i
Jilbab Seperti Hal Biasanya yang Saya Suka. Jujur Saja, Melihat Gambar Ini Benar-Benar Membuat Saya Tersenyum Manis. J
Ngomong-ngomong, saya mau sharing sedikit. Ada sebuah gerakan kesadaran pencerdasan tentang jilbab Syar'i. Adalah suatu bentuk kepedulian atas salah satu kewajiban seorang muslimah yang belum atau baru berhijab. 

Dilema Hukum hijab Jilbab Style Gaul dan Gaya Modern dalam islam apakah boleh halal haram CARA memakai jilbab syar'i

Bongkarlah banyak-banyak ilmu dari situ. Terutama untuk yang perempuan. Bila Anda laki-laki, boleh Anda himbau teman dan saudara perempuannya untuk mempelajari ilmu-ilmu disana. Oh, iya, ngomong-ngomong, adakah diantara Anda sekalian yang memiliki dilema hukum jilbab style gaul dan gaya modern seperti saya ini juga? 

Jilbab Gaul (Jilbab tidak hanya dalam islam)..!!!!!

Posted by : Unknown
Date :Selasa, 20 Agustus 2013
With 0komentar
Next Prev
▲Top▲